63 | Janji dan Tragedi (3)

8.8K 1.4K 173
                                    

<<<>>>

Radhit masih menekuri wujud Evan dengan getir. Sahabatnya terkapar di tanah dengan seberkas luka tembak di dada yang tengah Rei tekan dengan kain. "Aku tidak akan bertahan lagi." Evan tak bisa diam, bahkan di sela rintihan dan desisan rasa sakitnya.

Air mata tak bisa terbendung dari pelupuk Lavina yang duduk di samping kekasihnya. "Jangan banyak bicara!" Suara gadis itu terputus-putus di dalam batang tenggorok. Sementara Evan hanya tersenyum meringis sambil menunjukkan jam tangan. Indikator yang biasanya berwarna hijau, kini berubah merah dan menunjukkan angka 2%.

"Kesempatanku sudah habis, Lavina. Tapi jangan sampai keinginanku berakhir di sini," tutur Evan lemah. "Aku ingin Saturnus menjadi kelompok nomor satu. Karena kalian adalah orang-orang terbaik yang pernah kutemui. Negara harus bangga punya penerus seperti kalian."

"Jangan bicara lagi, Evan. Kumohon!" Lavina mengeraskan suara. Ia tak ingin mendengar kalimat yang hanya membuat batinnya makin terkoyak.

"Radhit," Evan tak mematuhi perintah sang kekasih. Suaranya kian redup saat menoleh pada sahabat itu. Suara lirih yang paling dibenci Radhit. Ia lebih suka suara Evan yang lantang bagai pedang, menusuk setiap orang yang tak cocok dengan ideloginya, "sejujurnya aku tak pernah membenci keputusanmu. Aku paham, memegang kendali di sini sangat berat. Nyawa adalah taruhan. Dan aku tahu, mereka pantas untuk dilindungi. Kau...." Evan menarik napas dangkalnya yang tinggal satu-dua. "Kalian semua, harus bisa menemukan pintu keluar lebih cepat dari yang lain. Aku minta maaf, bila selama ini sudah menyusahkan kalian. Terima kasih atas pelajaran berharga yang bisa kuambil dari sini. Carl, Sora, Belva, Galant, Carrie, Rei, Arvin." Evan menoleh pada Lavina yang masih bersedu-sedan di samping kepalanya. Rei dan Radhit membiarkan dua sejoli itu berpelukan erat di atas rerumputan yang menjadi saksi bisu ucapan terakhir Evan pada Lavina, "Aku mencintaimu."

Lavina menumpahkan seluruh air mata, bersamaan dengan leburnya tubuh pemuda itu sebagai benang-benang semitransparan yang makin lama makin pudar. Raganya telah dipindahkan dari tempat ini ke tempat lain. Dan jiwanya ke tempat yang lebih jauh. Tempat yang tak lagi sama.

Lidah Radhit kelu, tak bisa berkata apa-apa lagi. Keinginan untuk membawa kesepuluh orang itu lulus telah digagalkan oleh keputusannya sendiri. Salah satu anggota telah pergi. Menyisakan ruang kosong di dalam lingkaran itu. "Bunuh aku jika berani memutuskan hal yang salah." Radhit menggumam dengan tatapan hampa tanpa tujuan.

Carl meremas pelipisnya dengan gusar. "Bukan. Ini semua salahku. Aku yang seharusnya mati, bukan Kak Evan."

"Berhentilah menyalahkan diri sendiri!" tukas Lavina sambil berusaha menekan tangisannya. "Evan tak menyalahkan siapa pun atas kematiannya." Gadis itu beranjak dan berniat mencari air bersih untuk membasuh sisa-sisa rasa sakit yang menghinggapi jiwanya.

Siang itu, suasana masih terasa biru. Langit gelap mulai terbentuk, membuat mereka makin khawatir. Hampir semua tenda ringsek dan tak bisa digunakan lagi untuk berteduh. Mereka harus segera keluar dari tempat ini, sebelum keadaan semakin buruk.

Peter dan dua anak Osiris berjalan ke tengah lapangan. Ia bermaksud untuk menyatukan perhatian seluruh siswa McValen. "Kita sudah lihat bahwa percobaan 66,67% kami telah gagal."

Terdengar cemoohan panjang dari anak-anak. Namun tak satu pun berani melayangkan tomat busuk atau benda lain yang membuat kelompok Osiris mendapatkan rasa malu lebih banyak. Karena mereka semua sadar siapa yang telah mendominasi kekuatan di tempat ini. Semua anggota Osiris punya persenjataan lengkap. Seolah tak merasa cukup dengan kemampuan bertarung mereka yang sudah di atas rata-rata. Arvin hanya melirik kelompok itu dengan tatapan benci. Jika bisa, dia ingin melakukan pyrokinesis sekarang dan membakar habis mayat kelompok Osiris sampai ke tulang-tulangnya.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang