54 | Reposisi Materi (6)

10.4K 1.5K 72
                                    

<<<>>>

"Ayah, apakah superhero itu benar-benar ada?" Arvin menatap wajah pria dewasa yang tiba-tiba tersenyum di atas kepalanya. Tubuh anak kecil itu mengalun lembut ke depan dan ke belakang, mengikuti rayuan gerak sang ayunan. Sesekali tangan pria di belakangnya mendorong dua tali penggantung, menciptakan momen inersia terhadap engsel besi yang sesekali mengeluarkan suara berkerat.

"Superhero itu ada?!" Arvin kecil sampai bertanya kembali perihal tak percaya melihat ayahnya mengangguk.

"Superhero akan selalu ada, Arvin."

Wajah anak muda itu makin penasaran. "Di mana mereka sekarang, Yah?"

Ayahnya terkekeh. "Well ... maybe ... mereka ada di mana-mana. Mereka tidak mengenal tempat, Arvin. Di mana ada kejahatan, di situ pasti ada seorang pahlawan."

"Apa aku bisa menjadi seorang superhero?"

Ayunan itu berhenti. Tangan ayahnya beralih mengacak rambut ungu gelap Arvin. "Tentu saja. Kau adalah superhero kecil kami."

Arvin melompat dari tiang bandulan seraya membentuk kuda-kuda. "Aku akan menjadi superhero yang paling kuat, dan menyelamatkan ayah dan ibu dari penjahat," ucapnya mantap. Lantas berlarian ke sana ke mari dengan ceria, seolah-olah dengan begitu ia bisa terbang. Ayahnya hanya memandangi bocah itu dengan bahagia.

"Arvin...!" Teriakan wanita dari arah lain membuat keduanya menoleh. "Sandwichmu sudah siap." Ibunya melambai-lambaikan tangan dari kejauhan. Tikar piknik di bawah naungan pohon besar itu begitu sejuk dan menawarkan kedamaian bagi Arvin. Namun ia masih enggan dan ingin terus bermain.

Belum sempat anak itu berlari mengubah arah, ayahnya sudah menangkap sekaligus mengangkat badannya tinggi-tinggi. "Hey ... superhero butuh makan banyak supaya bisa mengalahkan musuh yang kuat!"

Gelitik tawa dan kehangatan itu terdistorsi oleh seberkas cahaya putih yang menyilaukan mata. Bayangannya lebur, lenyap ditelan kenyataan.

Mata Arvin membuka saat kaca hitam dop di kamarnya berubah menjadi transparan. Tirai matahari itu otomatis berganti saat pukul enam pagi, menggantikan fungsi alarm. Arvin pun menggeliat dan menguap lebar sebelum tubuhnya beranjak.

Sementara di dapur, Rei sedang membantu mamanya. Ia memungut mangkuk kotak berisi lasagna panas dari dalam microwave dengan sarung tangan besar, sesaat setelah mesin itu berdenting.

"Rasanya aku tak pernah sebahagia ini ketika menyiapkan sarapan pagi," tutur Nyonya Pitta.

Rei melepas sarung tangannya dengan wajah haru. Memandangi mamanya yang masih berdiri dengan kruk sambil menata piring di meja. "Andai saja papamu juga ada di sini...."

Semangat Nyonya Pitta pun jadi terinterupsi oleh perkataannya sendiri. Di saat yang sama, Arvin mendatangi meja makan. Anak itu tahu bahwa ada sebuah kabut ironi yang sedang menyelimuti keluarga ini. Walaupun ia sendiri tak tahu, kapan kabut itu akan tersingkap dan mereka pun tahu soal Paman Nathan. Cepat atau lambat, setiap rahasia pasti akan terungkap.

"Wah, lengkapnya...!" Seru Arvin berseri-seri begitu melihat banyak sekali makanan di atas meja. Ia baru saja mengenyahkan awan mendung di dalam rumah itu dengan caranya sendiri. "Beberapa hari di asrama membuat perutku sakit karena tidak bisa makan enak sebanyak ini."

"Oh ... jadi kalian benar-benar diperlakukan seperti seorang calon tentara?" tanya Nyonya Pitta penasaran.

Arvin mengangguk dan segera menarik kursi terdekat untuk duduk. "Ya, kami bangun pagi setiap hari, Ma. Senam, pemanasan, latihan baris-berbaris, outbond, berkemah, dan kegiatan militer lainnya setelah jam sekolah," jelasnya dengan antusias. Nyonya Pitta pun duduk sambil mendengarkan, sementara Rei terkesan tidak peduli saat menuang jus jeruk ke tiga buah gelas.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang