52 | Reposisi Materi (4)

9.9K 1.5K 81
                                    

<<<>>>

"Sudah kuduga, para transducer sialan itu akan muncul untuk menghancurkan Soteria!" Refleks, Evan berteriak sambil berapi-api. Kali ini Lavina terpaksa membungkam mulutnya supaya anak itu tidak menarik perhatian orang lain.

"Jujur, aku sendiri juga belum siap untuk terlibat dalam konflik ini." Arvin menggumam, yang sebenarnya ia tujukan pada diri sendiri.

Rei menaikkan kacamatanya. "Ya, aku jauh lebih menyukai jalan keluar lain, asal bukan perang."

"Atau mungkin memang sudah tidak ada jalan lain?" Sora berkelakar dengan ragu.

"Jadi sebenarnya kita itu dipersiapkan oleh negara supaya ikut dalam pertempuran besar?" ungkap Carrie prihatin.

"Ini kurang ajar dan kurang waras!" Belva mengimbuhi. "Paling tidak kenapa kita tidak diberi tahu sebelumnya. Kenapa kita tidak diberi pilihan? Separah inikah para pemimpin Soteria?!" Ucapannya melunak setelah menyadari ada Galant di situ. "Oh, I'm sorry...."

"Iya, aku tidak akan ikut wajib militer sejak awal kalau pada akhirnya seperti ini. Padahal niatku kemari adalah untuk bersekolah, bukan yang lain," sahut Carl mengibas-ngibaskan kaus hitam militernya yang belum sempat ia ganti. Ia resah seperti anak ayam yang kehilangan induknya, namun tetap tak bisa beranjak ke mana-mana.

Lavina dan Radhit hanya bisa saling menukar pandangan khawatir saat yang lain sibuk dengan percakapannya masing-masing.

"Sudah terlambat untuk berkata seperti itu," potong Galant. Semua suara langsung teredam. Galant tak ubahnya seperti DC-shock yang mengalirkan listrik ribuan Joule untuk mengatur kembali keteraturan dari kelompok ini. "Menolak keputusan parlemen justru akan memperlambat langkah kita. Dan kemungkinan Soteria untuk menang akan semakin kecil," lanjutnya.

"Kalian bertanya-tanya, mengapa Soteria akhirnya menerima pilihan perang, bukan? Kalian harus paham mengenal teori Prisoner's Dilemma lebih dulu." Galant menguasai pembicaraan. Semuanya terdiam begitu menyadari bahwa mereka tengah berhadapan dengan seseorang yang sudah kenyang dengan isu politik.

"Ya, itu adalah contoh standard dari permainan analisis dua kutub," jawab Belva yang segera mendapat perhatian dari yang lain. Melihat wajah-wajah yang butuh penjelasan, sementara Galant tampaknya telah meletakkan topik itu untuk Belva, ia pun melanjutkan, "Ada dua orang: A dan B, hendak ditentukan hukuman penjaranya karena terjerat kasus pembunuhan. Polisi menginterogasi mereka dalam ruangan terpisah dan keduanya tidak bisa saling berkomunikasi. Maka syarat dan kondisi berikut akan membuat mereka dilema.

"Pertama, jika A dan B sama-sama diam--artinya tidak mengaku ataupun menuduh--tanpa sepengetahuan dari tiap individu, maka masing-masing akan dikenakan hukuman satu tahun penjara--saja. Jika A sampai menuduh B, tapi B telanjur diam, maka A bisa terbebas dari hukuman, tapi B akan mendapat tiga tahun penjara. Sebaliknya, jika B menuduh A, tapi A diam, maka B akan bebas, dan A akan dikurung selama tiga tahun. Dan apabila keduanya saling menuduh, maka A dan B akan mendapat hukuman masing-masing dua tahun kurungan. Sampai di sini mengerti, kan?"

"Akan lebih mudah jika dibuat tabel persilangan." Galant memberi petunjuk sambil menggambar di tanah.

"Secara teoretis," sambung Belva, "A dan B selalu mencari keuntungan dan tidak mau dirugikan. See? Jadi tidak mungkin A dan B akan mengakui diri mereka sendiri sebagai pembunuh. Akhirnya, hanya ada punya dua pilihan. Antara diam, atau menuduh orang lain.

"Kalian tahu, hampir semua orang selalu memilih untuk menuduh dengan kemungkinan konsekuensi denda yang lebih kecil, daripada tetap diam namun berisiko untuk mendapat beban lebih berat, dengan asumsi bahwa lawan ternyata diam-diam menyerang kubu kita."

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang