37 | Kembang Api (1)

11.1K 1.7K 73
                                    

Aloha readers, hari ini saya kembali melakukan double date #eh salah ya? double update yang bener. Soalnya kemarin lusa sudah mau update tapi gagal gara-gara ada ujian. So, hope you enjoy these parts:

==================================================================


Wajah Arvin nampak kaku, mencoba menguliti alasan Rei yang tiba-tiba panik sepulangnya dari rumah Sora. "What do you mean with-"

"Arvin," potong Rei, "katakan padaku, apa kau pernah mendapat suntikan khusus selama ini?"

"Yes. Annually. It's a flu shot, and you get it too, right?"

"Bukan, bukan. Bukan vaksinasi flu. Ini adalah suntikan 'aneh' yang tidak orang lain dapatkan," koreksi Rei dengan hati-hati.

Arvin terkesiap begitu perasaan takutnya menyeruak, bercampur aduk dalam kenangan masa lalu yang buruk. Ia menyeleksi mana informasi yang penting untuk diutarakan. "Ya, kurasa aku mengingat kejadian itu. Ayahku-tidak, lebih tepatnya ayahmu-pernah memberikan suntikan yang tak kumengerti itu apa, sesaat sebelum pembunuhan orang tuaku."

Mata Rei membulat seketika. Dua belas tahun, dan baru detik ini Arvin mengungkapnya. Rei gusar membenahi posisi kacamatanya seraya memutar badan menjauhi Arvin. Sementara Arvin masih tidak begitu memahami keadaan. "Hey! What's wrong with me?"

"Ini cara kerja mereka, Arvin." Rei segera membalik badan, "menyuntikkan formula, membuat tubuhmu menjadi tempat yang cocok untuk kekuatan Hexagon. Dan kau... menjadi... transducer!" tandasnya.

Mata Arvin berkedip cepat. "J-jadi, pada waktu itu, aku adalah kelinci percobaan mereka?!" ujarnya berkesimpulan.

Rei duduk dan menggigiti kuku tangan di atas meja belajar dengan gelisah. "Sekarang lihat apa akibatnya! Apa yang terjadi jika pihak Soteria, apalagi Perserikatan Internasional sampai tahu tentang kau?" Arvin terdiam, tak mampu menjawab. "Kau harus lebih berhati-hati, Arvin," sambung Rei.

<<<>>>

Keesokan harinya, Nico dan Arvin terlibat konfrontasi. Pasalnya, Nico tidak terima karena Arvin selalu lebih unggul dalam semua kegiatan yang disuguhkan oleh satuan militer. Latihan memanah menjadi landasan pertama kekesalan Nico. Sampai adu duel tangan kosong pada keesokan harinya pun juga dimenangkan oleh tim Saturnus, dengan Arvin keluar sebagai primadona.

Dan terakhir kali Nico merasa dipercundangi adalah dengan ekstrakurikuler sepak bola. Arvin berhasil mendapatkan golden ticket untuk masuk ke ekstrakurikuler tersebut gara-gara kelihaiannya dalam berlari mendapat perhatian ketua klub, ketika permainan outbond yang sengaja diadakan untuk penyegaran. Sementara Nico-yang sejak awal mengidam-idamkan hal itu-hanya bisa gigit jari.

"Bagaimana kau bisa melakukan semua itu, bocah tengik!" tukas Nico lima belas senti di depan wajah Arvin. Suaranya menggaung di dalam mulut kamar mandi yang lengang dan tertutup. Tangannya erat menggenggam kerah baju Arvin, mengunci pergerakannya ke dinding keramik.

Alih-alih merasa terintimidasi, Arvin malah tersenyum menang. "Kau ini memang tidak pernah mau menerima kekalahan, ya. Dari kecil kau selalu seperti ini, Nico. Sadar atau tidak, mentalmu itu benar-benar buruk!"

Nico mengeratkan otot-otot lengannya. "Apa katamu!? Aku begini karena sudah hafal denganmu. Kau tak punya bakat fisik apapun sejak kecil. Kau pasti memakai doping, ya kan?! Belakangan ini kau juga terlihat sakit-sakitan. Aku yakin itu adalah efek samping dari obatmu."

"Wo-wo-wow, aku terkesan. Kau memperhatikanku sampai sedetail itu?" Arvin tertawa jenaka. "Jangan-jangan kau suka padaku, ya?"

Nico terdiam sejenak, sebelum menghempaskan tubuh Arvin dengan kasar. Arvin yang berhasil menyeimbangkan tubuh agar tidak jatuh ke tanah pun lega karena bebas dari ancaman wajah Nico.

"Aku akan terus memperhatikanmu, Arvin." Nico berujar dingin. Arvin yang merapikan bajunya seketika mendongak kaget.

"What?! Apa maksudmu dengan memperhatikanku? Kau yakin, kau menyukai-"

"Bodoh! Jangan berpikiran macam-macam!" Nico berteriak sebelum Arvin membuatnya semakin jengah. "Aku mewaspadaimu. Karena kau adalah anak seorang pembunuh dan buronan negara. Dan apa yang telah dilakukan ayahmu tak akan pernah kumaafkan."

Ekspresi Arvin melunak, begitu juga dengan Nico. Secepat itu, mereka kembali larut dalam masa lalu. Nico masih ingat betul bagaimana ia menangisi kepergian ayahnya ketika ia masih belia. Dan keinginan untuk membalas dendam waktu itu masih melekat di benaknya hingga sekarang.

"Jadi karena itu kau ingin melihatku selalu gagal dalam segala hal?" ucap Arvin lirih, namun detik berikutnya ia merasa tidak terima, "That's not fair, you know?"

Nico terkekeh dan membuang mukanya. "Memangnya ada yang adil di dunia ini?"

Arvin menarik bahu Nico untuk mencegahnya pergi. "Dengarkan aku, Nico! Kita adalah kita, bukan ayah kita. Mereka telah menyelesaikan kisah hidup mereka di masa lalu, dan yakinlah kita punya kehidupan yang baru sekarang!"

Nico tak menjawab, hanya keheningan yang lantas ia berikan. Arvin surut, merasa tak sanggup lagi melanjutkan amarahnya.

"Aku ingin meminta maaf padamu sekali lagi, Nico." Suara Arvin melirih. "Aku bosan menjadi bahan ejekanmu tiap hari. We must stop this, right now!"

Nihilnya tanggapan dari Nico membuat Arvin semakin jengkel. "Aku tak tahu jalan pikiranmu, Nico. Kenapa kau begitu keras kepala dan bodoh, mempertahankan rasa sakit itu untuk menghancurkan dirimu sendiri!" ucap Arvin sambil mengepalkan jari-jari Nico, dan mengarahkan tangan itu ke wajahnya sendiri dengan tidak sabar.

"Pukul aku! C'mon!" ucap Arvin sambil menunggu reaksi Nico. "Luapkan emosimu sekarang, Nico! Jika aku sampai mati, dan dengan itu kau bisa memaafkanku, itu jauh lebih baik bagiku. Daripada harus hidup dengan seorang pendendam seperti ini."

Berbeda dengan keinginan Arvin, Nico tetap bergeming menahan semua emosinya. Tak mau mengerti perasaan Nico, Arvin malah semakin geram. "Mungkin aku harus membuatmu sadar!"

Selayang bogem mentah mendarat di pipi Nico. Ia tersungkur ke tanah, karena tak mendapat kesempatan untuk berkuda-kuda. Sementara Arvin berdiri menantangnya, "C'mon! Fight me!"

Mendapatkan momentum, Nico bangkit dan meluncurkan tiga pukulan bertubi-tubi pada wajah dan perut Arvin. Dendam telah kembali merajai akalnya. Arvin sedikit menyesali perbuatannya, karena kali ini Nico benar-benar terlihat menakutkan. Arvin berusaha menghindari pukulan dan tendangan Nico yang membabi buta, sampai akhirnya ia terpojok di sudut bilik kamar mandi. Nico meraih rahang bawah Arvin dan mengangkatnya di dinding keramik tinggi-tinggi.

"You said, I might to kill you," ucap Nico sambil merapatkan kelima jarinya di ujung leher Arvin. "Then, I will!"

Arvin meronta-ronta ingin membebaskan jalan napasnya, sementara kepalanya mulai terasa berat akibat aliran darah yang ikut terblokade. Dari segi fisik, Arvin memang bukan tandingan Nico. Dan ia tak pernah menyangka bahwa Nico akan berbuat sejauh ini. Arvin sadar ia telah bermain api, dan kini ia harus siap untuk terbakar habis.

Memikirkan soal api, badan Arvin tiba-tiba ikut memanas. Perasaan aneh dan mengganggu yang biasanya ia rasakan ketika malam hari pun muncul. Dan detik berikutnya, Arvin merasa seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik dan ampang. Nico kaget melihat perubahan panas yang mendadak pada tubuh Arvin. Dan menjengit ketika Arvin membuka matanya. Iris Arvin yang bersinar kekuningan tertangkap jelas oleh mata Nico.


HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang