62 | Janji dan Tragedi (2)

8.4K 1.4K 68
                                    

<<<>>>

Risau, kacau, Arvin bangkit, dan meracau. "Seriously? Kau akan mfembuat sifat iblis mereka menular pada kami!" Arvin mendorong dada Radhit. Ia bahkan tak segan jika harus memukul ketuanya sendiri di tengah lengkingan tangis dan guyuran darah pagi ini. Arvin merasa dilecehkan. Ia tidak seputus asa itu ketika menghadapi Peter.

"Ada apa dengan kalian?" Lavina menyergah, menyadari ada sesuatu yang salah. Anak-anak Saturnus yang lain pun mulai mengumpul, membatalkan pertarungan mereka sejenak.

"Kita memiliki perjanjian dengan Peter." Radhit segera menjelaskan pada anggotanya. "Osiris menemukan bintang oranye. Mereka berencana untuk menyisakan sejumlah orang, sesuai dengan petunjuk yang tertulis di sana. Dan kelompok kita masih diberi kesempatan. Kita tetap bisa hidup, jika...."

Rei yang berani menyimpulkan pertama kali, mengerjap tak percaya. "Mem-membunuh kelompok lain?"

"Ya," ungkap Radhit dengan seangguk keyakinan, sementara Arvin masih tampak kesal, "hanya ada dua pilihan untuk saat ini. Membunuh atau dibunuh."

"Aku tidak mau!" Tiba-tiba Carl berteriak takut. Yang lain pun dibuat terkejut. "Aku tidak mau membunuh orang! Bunuh saja aku! Aku lebih baik mati sekarang daripada melanjutkan permainan gila ini." Ekspresi kalut makin kentara di wajah pemuda berambut pirang ikal tersebut. Ia tak punya cara lain untuk menolak keputusan sang ketua.

Namun ide Carl berbuah satu gelengan dari Radhit. "Kita masuk bersama, keluar pun juga harus sama-sama. Kita tidak mungkin menghancurkan kelompok sendiri."

Carl membalas Radhit dengan gelengan yang lebih cepat. "Aku benar-benar tidak bisa berada di sini lagi. Kumohon, aku ... aku ingin berhenti." Peternak jerawat itu hampir menangis, merengek seperti anak kecil yang ketakutan melihat hantu, atau mungkin analog dengan Arvin saat melihat badut. Namun tentu saja, Arvin tidak akan menginjak harga dirinya sendiri seperti yang Carl lakukan.

"Carl," Carrie memegangi pundak anak itu, berupaya agar ia kembali tenang, "jujur, aku juga takut berada di sini, sama sepertimu. Jika aku tidak memikirkan yang lain, aku sudah membiarkan teman-temanku berjuang sendirian di sini."

Sora mengangguk dan ikut berbicara. "Lagipula kita bermain kelompok. Tidak tahu apakah bisa lulus jika anggota kita berkurang satu. Lebih baik jika berusaha agar kelompok kita tetap utuh."

Memang, menurunkan tensi di tengah-tengah pertumpahan darah bukanlah momen yang pas. Gagal bereaksi, wajah Carl malah semakin cemas. Ketakutannya benar-benar ada di puncak ubun-ubun. Tangan kanan Carl segera merebut pisau kecil dari tangan Rei, dan mengarahkannya pada urat nadi di pergelangan tangan kiri Carl sendiri. Sontak, semua anak berusaha mencegah. Namun anak pirang itu terus menghindar mundur. "Jika kalian tidak bisa, aku akan melakukannya sendiri!"

Genggaman tangan kanan Carl yang bergetar pun segera terpental, begitu pedang Arvin berhasil menampik lepas pisau tusuk bermata dua itu. "Kau tidak mendengarkan kami, ha?!" Arvin beringsut untuk mengangkat kerah baju Carl. Baru kali ini ia berteriak sekeras itu kepada teman sebangkunya. Si lemah yang biasa berlindung di bawah tangannya. Perbuatan Carl kali ini benar-benar tidak pantas. "Selama ini kami berusaha melindungimu. Kau mau membuat kami kecewa?!"

"Carl," kata Carrie pelan, mengajak emosinya turun, "tidak ada benarnya melakukan aksi bunuh diri. Baik di dalam ujian, maupun di kehidupan nyata."

"Ya, itu salah satu sifat dari pengecut, kau tahu!" timpal Evan ketus.

Raut muka Carl pun surut. Setelah lepas dari genggaman tangan Arvin, ia tertunduk, tak berani menatap wajah anak-anak yang mengerubunginya. Kini rasa bersalah justru mendominasi. "Aku memang tidak pantas berada di kelompok ini. Kalian cocok keluar sebagai pemenang. Kalian bersembilan punya semangat yang sama, sementara aku tidak. Sejak awal," mata anak itu mulai berair, "aku hanyalah beban bagi kalian. Aku tidak bisa apa-apa. Hanya menjadi pelengkap dari tim hunter. Hal terburuk yang kulakukan adalah memberikan bintang milik Kak Evan kepada kelompok Neptunus tanpa sepengetahuan kalian. Aku tersesat di dalam hutan sewaktu mencari Arvin dan Kak Evan. Aku ditawari bantuan. Lalu malamnya, sepuluh bintang kuberikan sebagai tanda terima kasih."

Semua anak hanya bisa bergeming. Kecuali Belva dan Galant yang sesekali mengibaskan senjata mereka di posisi tepi lingkaran itu. Tentunya mereka tidak ingin mati konyol karena lengah dalam kekacauan ini.

"Selama ini aku tidak berusaha sekeras kalian dalam mengumpulkan bintang," sambung Carl masih dengan wajah tertekuk bersembunyi, "aku tidak ingin kelompok kita menang dengan jumlah bintang yang banyak. Aku tidak ingin menjadi pemenang dan dijadikan alat negara untuk melawan penjajah. Aku terlalu takut membayangkannya. Maka dari itu, bunuhlah aku sekarang. Aku akan berterima kasih karena telah mengeluarkanku dari semua masalah ini."

Anak-anak yang lain tercenung, sementara Carl terisak di balik kedua telapak tangannya. Evan sendiri masih berdiri kukuh dengan wajah kaku. Ia sudah tahu ulah anak itu tanpa menunggu pengakuannya. "Bukan hanya masalah kau tidak mau menang atau apa. Perbuatan mencuri tidak dibenarkan dalam hal apa pun. Itu akan melukai orang lain yang sudah bekerja keras. Jika kau tak mau terlibat dalam permainan ini, setidaknya jangan biarkan orang lain gagal akibat perbuatanmu," lanjut Evan sembari melirik Radhit yang menatapnya tajam. Ia langsung sadar bahwa kebiasaan menasihati di depan umum harus sudah mulai ditinggalkan.

Suara letusan peluru dari belakang tiba-tiba mengganggu mereka. Kaget. Sejak kapan ada senjata api di sini? "Aku tidak percaya, kelompok Saturnus isinya drama queen semua. Lemah!" Wajah sayu Peter yang biasanya tampak datar kini menunjukkan ekspresi marah, dengan senapan aktif tergenggam di tangan kanan.

"Tunggu! Dengarkan kami dulu, Peter!" Radhit masih berusaha bernegosiasi, saat ia sendiri kesulitan menelan ludah tatkala melihat tangan Peter menodongkan moncong pistol ke hadapan wajahnya. Anak-anak Osiris punya koleksi senjata yang cukup banyak rupanya. Radhit curiga jika bintang kuning yang kelompok mereka punyai ditukar dengan artileri[*], senjata laser, atau bahkan bom nuklir. Mereka pasti sudah merencanakan ini sejak awal.

[*] artileri: senjata untuk melontarkan proyektil

Tak ada lagi ruang bagi otak Peter untuk menerima penjelasan. Tanpa membuang waktu, peluru itu segera terpantik dan terproyeksi menuju arah Radhit. Hanya satu orang yang cukup dekat untuk menghalangi laju mata pelor tersebut. Dan anak itu adalah Evan. Justru, orang terakhir yang ingin Radhit lihat kematiannya.

Darah mengucur dari dada, tepat di bagian jantung, membasahi baju hijau loreng milik Evan. Tubuh anak itu roboh dan tertangkap oleh rangkulan Radhit. Spontan, pedang Arvin segera membelah udara di depan tubuh Peter. "Brengsek!" Anak rambut hitam itu menghindar dengan respon yang bagus, saat Arvin membabi buta, seakan tak peduli jika nantinya ia menyaksikan kepala Peter terpenggal oleh tangannya sendiri.

Di saat itulah, dua anak Osiris datang dan memisahkan Arvin dari ketua mereka. Leher dan tangan Arvin terkunci oleh siku lengan. Anak ikal itu terus memberontak dan berteriak sampai kehabisan tenaga. "Sebenarnya, apa arti nyawa bagi kalian?" Dada Arvin sesak. Suaranya yang terakhir terdengar berat, larut di dalam suasana histeris pembantaian di padang savana pagi itu.

"Target sudah terpenuhi, Ketua," bisik seorang anak Osiris pelan di samping tubuh Peter yang masih berdiri kaku memandangi Arvin dan kelompoknya. Peter langsung menaikkan pistol ke udara. Menembak tiga kali, sebagai tanda bahwa percobaan pertama telah selesai.

Suasana menjadi sangat tenang. Namun ketenangan itu justru melahirkan perih. Tangis tertahan menguar dari mereka yang kehilangan kawan-kawannya. Beberapa tampak terpukul dan tak berani berbuat apa-apa kecuali duduk mematung di hadapan mayat.

Keajaiban datang di antara padang porak poranda. Bukan sebagai pelipur duka, hanya malah membuat raga-raga tak bisa saling bersentuhan lagi. Tubuh yang gugur terurai di udara bagai pintalan benang sutra. Satu per satu sosok siswa McValen lenyap, dan menyisakan beberapa. Beberapa yang akan melanjutkan rasa sakit dan penderitaan. Beberapa yang akan melawan rasa takut saat bertemu lawan.

<<<>>>

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang