#8 Kisah Trelis (diperbaiki)

1.1K 43 3
                                    

—Dahulu, aku adalah seorang manusia ...

***

Namaku adalah Trelis Kakoidis, aku lahir di Yunani pada tahun 2012.

Awalnya aku tinggal bersama keluargaku di Yunani hingga tahun 2014, kemudian pindah menuju India. Namun pada tahun 2018 krisis moneter parah melanda Negara itu. Hal tersebut membuatku terpaksa mengungsi ke Negara lain bersama keluargaku. Selain keluargaku, ada juga keluarga-keluarga lain yang pergi mengungsi ke negara-negara terdekat.

Saat itu aku tak mengerti apa-apa tentang masalah yang menyebabkan kami harus pergi. Satu-satunya hal yang aku tahu hanyalah bahwa kami tidak dapat tinggal di sana lagi, itulah mengapa aku mengikuti kedua orang tuaku.

Pada saat itu, negara Indonesia telah menjadi negara paling sejahtera di Asia. Meskipun masih disebut sebagai negara berkembang, Indonesia sudah hampir menguasai pasar dunia dan menjadi saingan Cina. Mereka telah berhenti menjual bahan mentah dan mulai menjual bahan siap pakai. Mulai dari tusuk gigi hingga mobil listrik, Indonesia telah menjualnya ke seluruh penjuru dunia.

Selain itu, negara Indonesia dikenal dengan penduduknya yang ramah. Para orang tua yakin bahwa mereka akan diterima dengan baik di sana. Bahkan pada tahun 2015, Indonesia telah menerima ribuan korban PHK di Cina untuk dipekerjakan di pulau-pulau terpencil. Tentu, mereka digaji oleh negara.

Karena alasan-alasan itulah kami memilih Indonesia sebagai tujuan pengungsian.

Kapal yang kami tumpangi saat itu benar-benar sempit. Setiap sudut kapal dipenuhi oleh para pengungsi dengan situasi yang sama. Sekitar dua ratus orang berada di kapal tersebut. Membuat udara terasa berat.

Terkadang aku menangis karena merasa kepanasan, tapi orang tuaku dengan sabarnya mengusap rambutku dan mengatakan 'sabar dulu ya ...' hingga aku kelelahan dan tertidur di pangkuannya.

Kami berlayar selama berhari-hari, tujuan kami saat itu adalah pulau Sumatera. Tapi pada hari ke empat, persediaan makanan telah habis. Yang tersisa hanyalah beberapa kardus air minum. Karena hal tersebut, kami harus menahan lapar dan haus di dalam kapal yang kecil itu sedangkan jarak yang harus kami tempuh masihlah sangat jauh. Kami hanya diberi izin untuk meminum air satu teguk per hari. Tentu, satu teguk saja tidaklah cukup. Tapi kami harus bersabar.

Pada hari ke lima, beberapa orang meninggal di atas kapal. Saat itu aku tak bersedih, rasa lapar dan hausku mungkin telah membuat kemanusiaanku mulai memudar. Kami terpaksa membuang mayat-mayat tersebut ke lautan agar tak mengganggu penumpang yang lain.

Pada hari ke enam, beberapa orang meninggal lagi. Kematian di kapal ini sudah seperti hal yang lumrah, kami sudah terbiasa membuang mayat-mayat tersebut ke lautan.

Pada hari ke delapan, persediaan air sudah mulai habis. Kami terpaksa meminum air laut yang asin. Beberapa orang meninggal pula ....

Pada hari ke sepuluh, kami sampai di pulau Sumatera—tepatnya di Aceh—. Tapi kami diminta untuk segera meninggalkan pulau itu setelah menerima bantuan obat-obatan dan makanan. Hal tersebut karena pos pengungsian di tempat itu telah penuh. Oleh karena itu, kami sekali lagi berlayar menuju pulau Jawa.

Setelah dua hari kami berlayar, akhirnya kami sampai di pulau Jawa, Jakarta.

Kami disambut oleh para relawan menuju tenda yang telah dipasang untuk kami. Ketika aku sampai di tenda pengungsian, aroma sup dan roti langsung menggugah selera makanku. Kami pun langsung mengisi tenda pengungsian lalu menunggu para relawan membagikan makanan.

Ahhh, benar-benar nikmat. Aku masih mengingat perpaduan rasa masakan yang aku makan saat itu. Makanan yang aku nikmati saat itu sangatlah enak ibaratkan makanan-makanan yang datang dari surga. Benar-benar enak membuatku merasa tak masalah bila aku mati saat itu juga.

Venus - Kisah Sang Iblis [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang