Dea mengerjabkan mata saat larik matahari mengenai wajah tirusnya. Diluar sana matahari telah tinggi, namun gadis itu masih bergelung dibalik selimut. Suara ponsel yang terus berbunyi sama sekali tak mengusiknya. Ia terlalu malas membuka mata. Ia terlalu malas menghadapi dunia yang sama sekali tak berpihak padanya.
Wake up De. Ngurung diri itu gak akan nyelesein masalah! Dea mendengar pikirannya sendiri bicara.
Bicara itu lebih gampang dari pada melakukan. Andai gadis lain yang mengalami nasib sepertinya. Apa mereka masih bisa keluar rumah dan berpikir hidup itu indah? Suara lain memprotes.
Hidup memang tak selalu indah. Semakin dewasa semakin banyak masalah yang ditemukan. Seperti mengumpulkan batu disepanjang jalan pada sebuah keranjang. Semakin jauh perjalanan yang kita tempuh akan semakin berat pula keranjang itu.
Dea menghela napas. Mengakui kebenaran dari pemikirannya barusan, ia pun bangkit. Tubuhnya yang telah kurus jadi semakin kurus akibat stress dan kurangnya nafsu makannya akhir-akhir ini. Ya, sejak dia keluar dari kehidupan Aldo, dia menjadi sangat menyedihkan seperti ini. Dia sangat merindukan pria itu, tapi di saat yang sama dia harus menahan diri. Dea sudah memutuskan dia tidak akan datang pada pria itu, jika bukan Aldo yang meminta. Sudah cukup dia mengacaukan hidup Aldo dengan kecerobohannya. Maaf pun tak layak dia dapatkan atas apa yang sudah dilakukannya.
Dea membuka pintu kamarnya dan melangkah menuju dapur. Ia mencari segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Sampai di dapur ia mendapati sebuah post it, dari Luna.
De, gue mampir buat ngisi kulkas lo dengan makanan yang lebih bergizi. Gue tau ini berat buat lo. Tapi lo harus tetap semangat oke?
Love, Luna
Dea tersenyum setelah membaca post it tersebut. Walau pun senyumnya terlihat sangat dipaksakan, namun ia bersyukur ia masih bisa tersenyum karna satu hal. Setidaknya ia masih punya keluarga dan orang-orang yang menyayanginya seperti Luna. Ia harus menata hidupnya lagi, demi mereka.
TTTT
Sebulan sudah sejak kejadian itu.
Zeno menghubungi Dea terus-terusan, namun Dea mengabaikannya. Ia memutuskan meninggalkan Jakarta dan menetap di Bandung bersama orang tuanya. Zeno sesekali datang berkunjung, tapi Dea tetap pada keputusannya. Dia tak menginginkan Zeno dalam kehidupannya, meski pria itulah yang telah merenggut kehormatannya. Ia tak peduli meski dirinya harus melajang disisa hidupnya.
"Aku ingin sendiri Zen, aku udah maafin kamu buat semuanya tapi tolong tinggalin aku. Aku ingin hidup tenang." Itulah yang dikatakannya pada Zeno saat terakhir kali mengunjunginya, dan kini sudah dua minggu sejak pria itu tak menghubunginya lagi.
Mereka sama-sama terluka. Aldo, Dea, dan juga Zeno. Dea tak menyalahkan siapa-siapa lagi atas kejadian ini. Ia memutuskan untuk menerima segalanya sebagai takdir. Ia ingin memulai hidup baru dengan berlandaskan itu.
Tapi sepertinya tuhan tak mengizinkannya pergi begitu saja setelah kekacauan yang ia buat. Orang itu kini datang padanya. Ya, pria itu. Pria yang ia cintai dan ia tangisi hampir setiap malam. Pria yang di rasanya takkan pernah ia gapai lagi.
Aldo berdiri di depan lobi rumahnya. Ia terlihat rapi dalam balutan kemeja birunya. Rambutnya sedikit panjang, dan bulu-bulu halus mulai tumbuh disekitar dagu dan pipinya. Namun itu tak mengurangi ketampanannya, sungguh.
Betapa inginnya Dea mengulur tangannya dan merengkuh pria itu saat ini juga. Tapi ia tak bisa. Dea hanya meremas tangannya pada handle pintu dan tersenyum susah payah. "Hai."
Pria itu balas tersenyum kaku. "Hai."
"Masuk?" tawar Dea, Aldo mengangguk.
Mereka duduk di ruang tamu dan saling diam selama beberapa menit lamanya. Hingga Dea teringat ia harus menjamu Aldo. "Aku mau bikin minum buat kamu dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Fiance (COMPLETE)
RomansaApa jadinya jika suatu hari kamu terbangun dan menemukan dirimu sudah bertunangan dengan seseorang yang kamu benci?