Bab 7-Pemakaman

7.3K 753 87
                                    

Kukeluar dari kamarku, hampir bersamaan dengan Renitha yang keluar dari kamarnya. Dia menungguku menghampirinya,

"Bagaimana?" tanyanya.

Kurangkul pundaknya, "Dia tidak mengangkat teleponku. Kuharap tidak terjadi apa-apa dengannya."

"Tenanglah Em, dia seorang Shaman. Jika dia memang terluka, tingal sembuhkan saja sendiri." Katanya saat kami menuruni anak tangga.

Kami berjalan bersamaan menuju ruang keluarga, semuanya sedang berkumpul disana. Sepertinya Aldo yang menjadi pusat perhatian, Lily masih sibuk mengobati lukanya.

"Aku tidak mengerti kenapa kau sangat keras kepala." Terdengar suara Lily yang jengkel, menekan luka di tulang pipi Aldo sedikit lebih keras dari seharusnya. Aldo hanya meringis.

"Ini luka kecil, tidak perlu repot-repot menelponnya." Kata Aldo, menepis tangan Lily dari wajahnya saat dia melihatku datang.

Lily membereskan peralatan medisnya, memasukkannya kembali kedalam kotak putih dengan lambang plus warna merah ditengahnya. "Andrew tidak akan merasa direpotkan." Katanya lalu pergi.

"Pasti perkelahiannya hebat sekali." Bisik Renitha pelan.

Ghina menghampiriku diam-diam, berbisik. "Menurutmu siapa yang menang, Aldo atau Andrew? Dilihat dari luka Al, menurutku Andrew menang."

Kupelototi Ghina, "Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu."

Aisyah juga menghampiri, "Menurutku Aldo menang, dia hebat kalau soal berkelahi." Katanya pada aku dan Ghina.

Aku hanya bisa memutar mataku.

Aldo terlihat bangun dari kursinya, melewatiku. Kupandangi dia terus sampai menghilang di balik pintu kamarnya. "Siapa yang lapar?" tanyaku.

Aisyah membuatkanku mie goreng, karena hanya aku yang belum sempat sarapan. Sejak saat itu, hubunganku dengan yang lainnya kembali berjalan normal, bersanda gurau layaknya teman. Tapi satu hal yang menganggu kami, ini tentang Manda.

Sudah dua hari dia tidak kembali ke rumah perkumpulan sejak menjenguk pacarnya yang kecelakaan. Tidak ada satupun telepon dari kami yang diangkat olehnya, pesan singkat juga tidak dibalas. Kami semua khawatir tentu saja, tidak biasanya dia bertingkah seperti ini.

Kami sempat membahas ini pagi tadi, tapi Aldo tidak terlalu menanggapi ini serius. Simon lupa membawa otaknya, membuatnya tidak nyambung dengan topik pembicaraan. Aldo mengatakan mungkin dia terlalu sibuk mengurus pacarnya sehingga tidak sempat melihat ponselnya, lagipula dia memiliki dua dunia, kita tidak bisa memaksanya terus berada di dunia kita.

Malam ini kami semua berkumpul dikamarku, hampir semuanya. Aku, Renitha, Ghina dan Aisyah duduk membuat lingkaran kecil diatas ranjangku, tiga bungkus makanan ringan rasa rumput laut, dua bungkus oreo dan empat teh manis kotak berada ditengahnya. Walau Aldo sudah menyuruh kami semua untuk tetap tenang dan tidak menanggapi ini berlebihan, tapi tidak ada yang bisa menghilangkan kekhawatiran Aisyah yang terlampau besar.

Aisyah mencoba menelponnya sekali lagi sebelum kita mendatangi rumahnya besok. Kami menunggu, entah kenapa aku mempunyai firasat buruk tentang ini.

"Manda?" tanya Aisyah.

Kami yang mendengarnya langsung bersemangat, Aisyah memasang pengeras suara di ponselnya.

"Kau dimana?" tanya Renitha.

Awalnya hanya suara berisik yang terdengar, kemudian suara Manda muncul. Suaranya begitu sendu, sangat pelan sehingga kami semua harus mendekatkan kepala kami pada ponsel. "Adit," suaranya terputus dan aku yakin sekali itu suara berikutnya yang muncul adalah isakkannya. "Dia meninggal kemarin."

Kami semua yang mendengarnya terkejut, Renitha sampai tidak bisa berkata apa-apa dan mulut Ghina hanya menganga lebar. Aisyah yang mengumpulkan sisa-sisa ketenangannya, terus bertanya dimana posisi Manda saat ini. Setelah empat kali bertanya, Manda tetap tidak memberitahu posisinya. Tapi dia muncul, berdiri dengan lesu di samping ranjangku.

[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang