Aldo membawaku pergi malam itu juga, terbang dengan sangat cepat jauh di atas gedung-gedung tinggi. Di ruang keluarga rumah perkumpulan-yang malam ini terasa begitu suram-kami berkumpul, setelah Aldo menelpon semuanya. Air wajah mereka semua serentak panik. Om Amir dan tante Lidya-orang tua Ivan bahkan ikut hadir, mereka duduk di salah satu sofa, mengapit Ivan dan bicara serius sekali dengannya. Di sofa yang lainnya, aku dan Aldo duduk, sisanya memilih duduk di lantai.
Aku selalu suka dengan warna rambut tante Lidya yang berwarna coklat kemerahan dan terurai panjang. Dia sering menyentuh rambutnya atau merapihkannya dengan jemarinya yang lentik-lentik, jelas dia juga sangat menyukai rambutnya. Bibirnya yang tipis dilapisi pewarna bibir merah menyala, tapi dia jarang tersenyum. Dan lirikan matanya, dia selalu memicingkan mata saat melirik seseorang, membuatku enggan bicara padanya.
Berbeda dengan om Amir yang justru terlihat begitu ramah, keriput di ujung matanya justru membuatnya kelihatan berwibawa. Dia tak kalah tampan dengan Ivan, warna kulit kecoklatannya juga tak kalah menarik dengan Ivan. Jenggotnya tumbuh sedikit lebih tebal dari yang terakhir kali kuingat, mungkin dia sengaja merawatnya.
Aldo member isyarat agar aku mulai. Semua mata terpusat padaku saat kuceritakan segalanya, sesekali Aldo menutupi lubang-lubang pada ceritaku yang terlupakan olehku. Tanganku bergetar di pangkuanku saat harus mengingat kembali gambaran mengerikan itu, suaraku yang lemah perlahan menghilang ketika sampai di bagian cerita dimana semuanya mati.
Sesaat kuselesai, semuanya mulai berbicara, saling melempar argumen dengan lantang. Suasananya benar-benar tidak kondusif, hampir ricuh. Simon dan Ghina memutuskan kalau kita langsung menyerang sementara Manda dan Tante Lidya lebih suka jika permasalahan ini diberikan pada kelompok lain yang lebih besar. Semuanya nampak abu-abu, ide-idenya tidak jelas. Aldo sampai harus berteriak untuk menenangkan suasana, tapi tak sanggup menenangkan hati semuanya.
Ivan bergerak-gerak gelisah dalam duduknya. "Apa saja keuntungan mereka?" Tanyanya.
Aldo berdiri hampir menutupiku yang duduk di sofa di belakangnya, sebelah tangannya dimasukan ke saku celana denimnya. Kepalanya menoleh ke arah siapapun yang melontarkan pertanyaan, "Pasukan, mereka kelihatan sudah benar-benar siap," jawabnya.
Simon yang duduk di karpet terkekeh meremehkan, "Hanya itu? Kita bisa melawannya."
Ghina yang duduk tak jauh dari Simon menendangnya, "Beratus-ratus pasukan iblis. Bahkan aku tak yakin kau bisa mengatasi satu iblis Sim,"
"Hentikan!" bentak Aldo, "Jelas kita sudah benar-benar tamat jika melawan pasukan sebanyak itu."
Suara bariton om Amir muncul. "Cawan," dia memandangiku dengan tatapan memastikan-mengerutkan kening dan menaikan sebelah alisnya, "kau bercerita tentang cawan, sesuatu yang sudah mereka temukan." Kini dia memandangi istrinya, "Mungkinkah?"
"Cawan kekuatan," jawab tante Lidya, membenarkan pemikiran om Amir.
Ivan mengumpat dengan keras yang langsung mendapat pelototan tajam dari tante Lidya.
"Apa itu?" Tanya Renitha sembari menopangkan lengannya di pangkuanku.
"Cawan kekuatan dibuat oleh salah satu iblis yang dulunya pengikut setia Lucifer, sampai dia memutuskan untuk membelot," om Amir tanpa segan menjelaskan, "Cawan kekuatan mempunyai kemampuan luar biasa yang bisa mengambil kekuatan orang lain."
"Pakai kata yang mudah," protes Simon.
Om Amir mendengus kesal, "Baik, akan kubuat perumpamaan. Misalkan, Simon memiliki cawan kekuatan dan dia ingin memiliki kekuatan Aisyah, dia bisa mengambilnya dengan paksa. Caranya, Simon harus mengambil darah Aisyah, meletakannya di dalam cawan dan meminumnya. Setelah diminum, Simon akan memiliki kekuatan Aisyah."
KAMU SEDANG MEMBACA
[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)
Paranormal[Beberapa part di private!] Apa yang harus dilakukan Emily jika ia dihadapkan pada satu kenyataan yang akan menghancurkan dirinya? Ketika dia harus melakukan sesuatu yang dianggapnya mulia. Takdirnya. Apa yang harus dilakukan Aldo saat dia tahu wani...