Bab 6-Penjelasan

7.3K 852 102
                                    

Kutatap cowok dihadapanku dengan tidak percaya, permintaannya sangat konyol disaat yang tidak tepat seperti ini. Alih-alih menamparnya, aku hanya sanggup mendorong tubuhnya mundur walau hanya beberapa centi.

"Kau memang sudah gila." Kataku, marah dengan permintaanya.

Tapi ekspresi wajah Aldo tidak berubah, terhenyak sedikitpun tidak. Matanya tajam menusuk, fokus dan terkendali. Kupikir dia akan menyerah, ternyata aku sangat salah. Aku tidak bisa kabur saat kedua tangan Aldo merengkuh wajahku, menahannya agar dia bisa menempelkan bibirnya di bibirku secara paksa.

Kucoba memundurkan kepalaku tapi tangan Aldo menahan kepalaku, sementara bibirnya masih tetap melumat bibirku. Tanganku yang bebas menjambak rambut belakangnya dengan keras, berusaha melakukan apapun agar bisa melepaskan ciumannya. Tapi Aldo malah semakin bersemangat, kurasakan ciumannya mulai memanas.

"Al, kita tidak-" kataku disela-sela pengambilan napasnya.

"Diamlah." Katanya, membebatku dan kembali menciumku.

Jantungku berdegup dengan cepat sementara darahku berdesir, hawa disekelilingku mendadak panas padahal angin malam bertiup cukup kencang. Setiap sel dalam tubuhku menyuruhku untuk menyerah dan menikmati momen ini dan aku menurutinya. Sesungguhnya, rasanya sangat nikmat.

Kucoba untuk menikmati semuanya, mengaktifkan setiap inderaku. Tubuhku melekat seperti puzzle dengan tubuh Aldo, menghapus setiap jarak yang ada. Merasakan setiap inci dari bibir Aldo yang lembut sekaligus hangat, kugerayangi tubuhnya dan mencoba mematri dalam ingatanku setiap lekuk tubuhnya yang sempurna. Kubuka mataku dan melihat wajah Aldo yang kelewat tampan, matanya terpejam dan kerutan di keningnya muncul setiap kali bibir kami terlepas untuk mengambil napas. Dan saat itulah kulihat dia tersenyum sebelum kembali menciumku, kali ini tanganku yang menahan kepalanya agar tidak melepaskan bibirnya.

Saat Aldo menarik kepalanya mundur dan mengehentikan ciuman kami, ada rasa kehilangan yang muncul dalam diriku. Kulihat kepuasan dari senyumnya, tidak bisa kusembunyikan kalau aku merasakan hal yang sama. Aku merasa memang seperti inilah seharusnya, seakan aku memang harus menciumnya sejak berhari-hari yang lalu. Kugigit bibirku, masih ingin merasakan bibir Aldo lebih lama lagi sebelum kenyataan akhirnya menghantamku dengan keras.

"Aku suka caramu menggigit bibirku, kau pencium yang hebat." Candanya, dia bahkan terkekeh diakhir kalimatnya.

Aku tidak percaya dia mengatakan hal itu disaat seperti ini. Sial, aku benci saat dia bercanda. Aku benci saat dia bisa membuatku tertawa, dan menahan tawa adalah hal tersulit bagiku.

"Aku tidak mengigit bibirmu." Sanggahku, menjaga nada suaraku tetap stabil.

Dia menarik bibirnya, "Kau lihat ini, aku berdarah."

Memang ada sedikit darah di bibirnya, tapi aku sama sekali tidak merasa mengigit bibirnya. "Itu pasti ulahmu sendiri, kau mengigit bibirmu sendiri Al." Aku tetap menyangkal.

"Kenapa aku melakukan itu?"

"Karena terlalu terbawa suasana."

"Aku sangat yakin kau yang terbawa suasana."

Dia membuatku jengkel, "Kau yang memaksaku untuk menciummu, ingat? Dasar cowok mesum."

"Jujurlah, kau juga sangat menikmati ciumanku bukan?" Aldo tersenyum menang, "Aku memang pencium yang hebat." Dia mulai mengeluarkan tingkah menyebalkannya, membuatku ingin memukul kepalanya dengan keras.

"Bagaimana dengan Lily, kau menikmati berciuman dengannya? Karena kudengar kau tidak pernah menciumnya lagi akhir-akhir ini." Kataku.

"Astaga, selalu saja membawa Lily ditengah pembicaraan kita." Katanya, mengacak-ngacak rambutnya -yang sudah berantakan karena aku menjambaknya-.

[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang