[Baca A/N di akhir cerita]
Di perbatasan antara terang dan gelap, waktu jadi satu-satunya yang menjebatani walau kadang ia berkelakar.
Hari sudah memasuki waktu malam, tapi langit masih temaram. Angin tertiup dari jendela kaca mobil Aldo yang sengaja kubuka, menerbangan anak-anak dari rambutku yang kukuncir model ekor kuda. Kubiarkan anginnya menerpa wajahku, merelakannya menyakiti mataku sampai berair. Pedang Lucifer yang terbalut kain hitam tebal, tersimpan aman di tas ransel yang tak pernah terlepas dari punggungku.
Mobil melaju cepat di jalan bebas hambatan, setelah mengunjungi tiga rumah perkumpulan dari kelompok lain. Manda masih terus mencaci maki kelompok terakhir yang langsung mengusir kami begitu keluar dari mobil.
"Rasanya ingin kupatahkan leher orang-orang pengecut itu!" sumpah serapah menyusul setiap kali Manda menyelesaikan kalimatnya.
"Kita tak bisa memaksa mereka," akhirnya Aldo bicara, mungkin telinganya sudah tidak kuat mendengar serapahan Manda.
Manda mendengus keras, kulirik dia yang sedang memberengut sambil melipat kedua lengannya di depan dadanya. Aku bertanya-tanya, apakah yang lainnya berhasil mengajak beberapa kelompok atau mereka juga kena tendang seperti kami. Tidak banyak kelompok-kelompok besar yang kami kenal, terutama aku yang baru bergabung di dunia supranatural ini.
"Jadi, sekarang kita akan ke mana?" tanyaku sembari menaikan kaca jendela mobil.
"Pulang," jawab Aldo.
Seharusnya masih ada satu kelompok yang bisa kami datangi; kelompok Legoh. Tapi Aldo menolaknya mentah-mentah, dia mengungkit masalah dengan pemburu tempo hari. Menjelaskan bahwa kelompok itu memiliki anggota cewek-cewek yang payah. Tapi om Amir tetap bersikeras jika kita tetap harus mencari bala bantuan sebanyak mungkin. Jadi om Amir, tante Lidya dan Renitha yang mendatangi kelompok Legoh.
Aku sendiri setuju, dalam hal ini aku tak ingin pandang bulu. Jika mereka bisa membantu dan ingin membantu, aku akan benar-benar bersyukur. Namun meminta mereka bertarung bersama kami bukanlah sesuatu yang remeh. Seperti kelompok-kelompok yang sudah kami datangi, mereka lebih memilih diam, bersembunyi dan kabur demi menyelamatkan diri mereka sendiri.
Tapi, aku tak mau menyerah. Keadaan kami benar-benar di ujung tanduk. Aku menoleh ke belakang, melirik Manda yang sedang memandangiku balik. Mata kami bertemu, hendak menjanlankan ide yang sudah kami setujui sembunyi-sembunyi beberapa jam sebelumnya.
Tanganku terulur ke belakang. "Sekarang!" perintahku.
Saat tangan Manda menyentuhku, hukum tata ruang sudah tak berlaku. Rasanya seperti tubuhku ditarik kuat-kuat ke segala arah oleh kekuatan tak kasat mata, hanya sepersekian detik sebelum kami tiba di tempat lain.
Berdiri di depan pabrik benang yang sudah tidak terpakai ini membawaku ke beberapa kenangan yang ganjil, mengocok segala emosi yang susah payah selalu kupendam. Di sisiku Manda terengah-engah, namun masih bisa mengendalikan dirinya. Dia sudah lama tidak melakukan teleportasi ke tempat-tempat yang jauh, seperti memaksa mesin lama untuk bekerja rodi secara mendadak.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
Manda menegakkan tubuhnya, napasnya sudah lebih teratur. "Ya. Terakhir kali kita di sini, hampir terjadi pertempuran."
"Seharusnya tidak seperti itu."
Manda memandangiku dari samping. "Yang lain pasti akan sangat marah."
Manda benar, yang lain pasti akan langsung menolak ide ini. Aku tak menceritaka ide ini selain pada Ghina dan Manda. Ghina, satu-satunya yang aku yakin akan setuju dengan ide gila macam ini. Manda, satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)
Paranormal[Beberapa part di private!] Apa yang harus dilakukan Emily jika ia dihadapkan pada satu kenyataan yang akan menghancurkan dirinya? Ketika dia harus melakukan sesuatu yang dianggapnya mulia. Takdirnya. Apa yang harus dilakukan Aldo saat dia tahu wani...