Malam terasa sangat panjang, beberapa pasang mata yang terasa berat dipaksakan untuk tetap terbuka. Ghina menguap besar-besar di di telingaku, sementara kepalanya bersandar tanpa rasa bersalah di bahuku. Lagi-lagi keadaan hampir ricuh, pertanyaan-pertanyaan dilontarkan bersamaan. Aldo, om Amir dan tente Lidya nampak kewalahan sekaligus kesal.
Semua cerita yang kami tahu dibeberkan tanpa sedikitpun ditutup-tutupi; kematian Lily, penglihatanku, dan soal pedang Lucifer. Semuanya memandangku dengan tatapan duka saat mengetahui Lily sudah meninggal, beberapa menghampiriku dan mengucapkan rasa duka mereka. Ini terasa tidak mengenakan untukku, mengungkit kejadian itu membuat lubang di hatiku berdenyut dan kembali berdarah.
Namun satu-satunya pertnyaan krusial terlontar dari Dinna, teman necromancer yang baru kukenal. "Kapan penyerangan itu terjadi?" tanyanya.
Semuanya terdiam, tidak ada yang tahu jawabannya.
"Tidak terpikirkan olehku," kata Simon yang duduk bersandar di kakiku.
Ghina menendang kepala Simon dengan lutut. "Sejak kapan kau berpikir," ledek Ghina.
Pandangan-pandangan penuh tanya tiba-tiba terarah padaku, padahal aku juga sama tidak tahu. "Di penglihatanmu waktu itu, kau tidak tahu kapan mereka akan melakukan penyerangan?" tanya om Amir.
Aku menggeleng lemah.
Desahan-desahan berat itu muncul, membuatku merasa terbebani.
Aisyah yang berdiri di samping Ghina bertepuk tangan dengan nyaring. "Tanyakan saja padanya," ujarnya penuh semangat. "Seperti yang pernah kita lakukan waktu itu."
"Tidak mau!" pekik Renitha langsung. "Terakhir kali kita memanggilnya, dia berusaha merasuki Emily dan seisi rumah jadi berantakan. Dia terlalu kuat, aku takut tidak bisa mengusirnya."
Aku yang mengantuk, tak bisa cepat menangkap maksud pembicaraan mereka. "Siapa yang kita bicarakan?" tanyaku, berbisik pada Ghina.
Ghina menegakan tubuhnya. "Tapi ada Dinna di sini, dua necromancer pasti bisa melakukannya dengan mudah," katanya, tak mengindahkanku.
Seseorang dari kubu Legoh yang bergerombol di dekat tangga mengangkat tangannya. "Permisi, tiga."
"Ah, benar!" pekik Ghina lebih bersemangat dari sebelumnya. "Kau... Nur? Benarkan?"
"Tiga necromancer, pasti akan mudah," kata Aisyah, matanya memandangi Renitha. "Jika kau tidak mau, mereka berdua bisa melakukannya. Benar?"
Dinna yang berdiri sambil melipat kedua lengannya di depan dadanya mengangguk.
"Tentu saja," jawab Nur.
"The Oracle?" tanyaku, kali memastikannya pada Renitha.
"Tentu saja, siapa lagi," jawabnya.
Aku menghela napas berat. "Aku benci hantu itu."
"Bukan hanya kau," kata Renitha sebelum pergi menghampiri Dinna dan Nur.
Beberapa dari kami sibuk mempersiapkan ritual pemanggilan; mencari lilin dan menyingkirkan perabotan untuk membuat ruangan yang lebih luas sekaligus aman. Kelompok vampir dan kelompok Visi yang tidak mempunyai necromancer di dalam kelompok mereka, sama sekali tidak tahu tentang hal ini.
Kedua kelompok itu menghampiriku yang sedang meringkuk bersama Ivan dan Simon di pojok ruangan, penasaran tentang ritual yang akan kami lakukan. Walau awalnya ada sedikit kesenjangan dengan para vampir, namun rasa penasaran mereka menghilangkannya.
"Kami berniat memanggil sesosok hantu, kami memanggilnya The Oracle," Ivan mulai menjelaskan. "Dia spesial, apapun yang ingin kau ketahui, dia sudah mengetahuinya lebih dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)
Paranormalne[Beberapa part di private!] Apa yang harus dilakukan Emily jika ia dihadapkan pada satu kenyataan yang akan menghancurkan dirinya? Ketika dia harus melakukan sesuatu yang dianggapnya mulia. Takdirnya. Apa yang harus dilakukan Aldo saat dia tahu wani...