Ada perubahan nama. Emel jadi >>> Melva.
Saya update part selanjutnya kalo votenya +150 dan comment +100. Terimakasih.
"Mari berteman saja."
Aldo menatapku dengan ekspresi yang berubah-ubah saat aku mengatakan hal tersebut, terkejut, bingung, marah. Kugigit bibirku, khawatir dengan reaksi yang akan dikeluarkannya.
"Kenapa?" dia kembali mempertanyakan keputusanku.
"Karena aku ya-" Aldo menutup mulutku dengan tangannya.
"Aku tahu alasannya," katanya, melepaskan tangannya dari mulutku. Dia mengacak-ngacak rambut di puncak kepalaku lalu kembali duduk di kursinya semula.
Aku berdiri dengan terheran-heran, ini bukanlah reaksi seperti yang kupikirkan. Dia tidak membentakku, tidak menolak, tidak memaksa dalam kekerasan atau verbal. Aldo hanya, biasanya saja. Dia bahkan duduk dengn santai, kaki kanannya diangkat ke kursi dan ditekuk, dia tertawa lepas sambil menonton acara televisi bodoh.
Kusadarkan diriku dari keterkejutan kecil, melemaskan tubuhku dan kembali ke sofa. Mataku masih memperhatikan Aldo dengan seksama, sampai aku sadar kalau itu buang-buang waktu. Kurasa Aldo juga sudah memutuskan, sama sepertiku. Ini jalan yang terbaik, aku yakin. Jika tidak, well, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"Aku tidur duluan," kataku, membaringkan tubuhku di sofa dengan bantal dan selimut tipis menutupi tubuhku.
"Selamat malam Emily," balas Aldo.
Mataku yang belum tertutup masih bisa melihat senyumnya yang kelewat lebar, efek menonton acara komedi. "Jangan lupa matikan televisi dan lampunya sebelum tidur, nanti Bundo marah," aku mewanti-wantinya.
"Iya iya, berisik sekali," katanya sambil tertawa, masih sibuk dengan acara komedinya.
Kuputar mataku dan pergi tidur.
***
Suara berisik disekelilingku, menarikku perlahan-lahan ke alam sadar. Kurenggangkan tubuhku, menggerang beberapa kali. Sofa bukanlah tempat ternyaman untuk tidur, leherku sakit, tanganku kesemutan, dan lenganku gatal-gatal karena di gigit nyamuk. Butuh sepersekian detik untukku bisa bangun dengan sepenuhnya dan butuh waktu yang lebih lama lagi untuk bangkit dari posisi tidurku. Mataku sudah terbuka sepenuhnya tapi penglihatanku tertutup sesuatu, kotoran mata sepertinya. Kumengerjap untuk bisa melihat lebih jelas, Ludwig, Herlan dan Farras sedang menatapku sambil tertawa."Kenapa?" tanyaku sembari menguap.
Farras tertawa besar-besar, "Kau tidur dengan mulut terbuka, air liurmu menetes ke bantal."
Herlan memainkan sebuah ponsel berwarna hitam di tangannya, "Akan kujadikan meme."
"Hapus!" jeritku, Herlan langsung kabur.
Setelah melewati beberapa ejekan dan lelucon tentang cara tidurku, juga sarapan seadanya dengan nasi uduk yang sambalnya kelewat pedas, Aku, Aldo dan Ivan memutuskan untuk pulang. Fenny dan Bundo tidak sedang kembali kerumahnya masing-masing, jadi hanya Herlan, Farras dan Ludwig yang mengantarkan kepulangan kami.
Mata Ivan kelihatan memerah pagi ini, mungkin dia tidak tidur semalaman karena pergi dengan Herlan, Ludwid dan Farras. Kami duduk disebuah bangku panjang di halaman dekat jendela besar sementara Aldo bicara sesuatu pada Herlan.
Ivan menguap lebar-lebar, kepalanya digaruk beberapa kali dengan keras. "Sampai dirumah aku akan berhibernasi," katanya.
Aku terkikik, "Aku baru tahu singa juga berhibernasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)
Paranormal[Beberapa part di private!] Apa yang harus dilakukan Emily jika ia dihadapkan pada satu kenyataan yang akan menghancurkan dirinya? Ketika dia harus melakukan sesuatu yang dianggapnya mulia. Takdirnya. Apa yang harus dilakukan Aldo saat dia tahu wani...