Hate to Love

30.5K 693 5
                                    

Haii, aku kembali lagi nih dengan cerita baru. Ngga tau sih ya, apa aku nya yang terlalu bersemangat apa gimana yang jelas aku lagi kena syndrom 'suka nulis'. Kali ini aku nulis cerita yang kayanya bener-bener aku pengen nulis, yang bener-bener hati tuh cinta banget, konsep sih udah ada tapi s eperti biasa, di tengah jalan pasti banyak kendala nantinya sehingga memungkinkan konsep berubah :D Tapi ya aku harap cerita ini bisa sesuai dengan konsep yang udah ada di otak aku dari awal. So, enjoy this story :)

==

Aku berfikir takdirku sungguh tidak adil. Bagaimana bisa aku dihadapkan pada kenyataan semacam ini? Jika Tuhan berkehendak aku akan kuat, maka aku akan kuat. Tapi sepertinya Tuhan berkata lain, Dia ingin aku belajar dari kelemahan dan rasa sakit ini. Senja ini aku berdiri disini, menatap gemerlap lampu yang menyilaukan mata. Hanya tinggal beberapa langkah lagi aku akan sampai di hadapan mereka, sepasang mempelai yang tampak mengulas senyum bahagia. Haruskah aku ikut tersenyum? Ya, memang harus. Aku memaksakan senyum terbaikku untuk mereka saat langkahku berhenti tepat dihadapan mempelai wanita.

"Livia? Kau sendiri?" aku tersenyum kikuk lalu mengangguk.

"Yeah, kurasa" aku mengendikkan bahu. Wanita itu tersenyum saat aku menyerahkan sebucket bunga untuknya. Disamping wanita itu, laki-laki yang sudah resmi menyandang status sebagai suami dari sang wanita ikut tersenyum menatapku. Aku heran, kenapa dia bisa menampilkan senyum semacam itu dihadapanku.

"Terima kasih sudah datang, Livia. Kufikir kau tenggelam dalam patah hati sehingga tidak berniat untuk mendatangi pesta pernikahan kami" aku tergelak, gurauannya sungguh tidak lucu. Benar, aku patah hati.

"Sayangnya kau tak setampan itu untuk membuatku mati dengan derita patah hati, Mr. Reynand Adam" cibirku, dia mengulas senyuman mengejek.

"Sudah-sudah, Livia segera beranjak dari sana. Kau membuat antrian tamu yang ingin bersalaman menjadi panjang" sahut Gracia menyadarkanku kalau aku terlalu lama berdiri disini.

"Oh..maaf Nona pengantin" ujarku lalu beranjak pergi dari hadapan mereka.

Akhirnya aku memilih untuk mengelilingi gedung resepsi yang tampak sangat indah di mataku ini. Pikiranku kembali menerawang kepada beberapa bulan yang lalu. Biar kalian tidak penasaran tentang apa hubunganku dan kedua orang yang tengah menikah ini, mari kuceritakan.

Namaku, Livia Anastasya Wildan. 24 tahun. Anak terakhir dari dua bersaudara, kakakku Brian Michael Wildan, Mike berumur 26. Aku memang bukan murni berdarah Indonesia, Ayahku Aldrian Wildan berkewarganegaraan Perancis dan Ibuku Siena Ananta berdarah Indonesia asli. Kami pindah ke Jakarta saat aku berumur 19 tahun, saat itu nenekku, ibu dari Ibu ku sakit keras dan membuat kami akhirnya pindah ke Jakarta dan tidak kembali lagi ke Perancis sampai saat ini. Tapi mungkin tidak untukku, sepertinya aku akan benar-benar tinggal bersama kakek dan nenekku di Perancis setelah ini. Setelah pernikahan Reynand dan Gracia.

Aku bertemu Rey, emm maksudku Reynand saat pesta perusahaan Papa. Itu sekitar 2 tahun yang lalu, saat itu aku datang bersama Mike, kakakku. Mike memperkenalkan aku dengan laki-laki yang sejak pertama aku melihatnya aku merasakan ketertarikan yang tidak biasa. Bukan karena dia tampan. Aku akui Rey memang tampan, tapi di kampusku banyak laki-laki yang lebih tampan dari dia. Tapi ada aura tersendiri yang aku rasakan saat aku melihatnya.

"Rey, kenalkan ini Livia. Adik perempuanku satu-satunya" ucap Mike begitu kami sampai di hadapannya saat itu. Dia menatapku lekat seolah ingin menelanku hidup-hidup. Apa yang terjadi padanya?

"Reynand Adam, panggil aku Rey" ujarnya lalu mengulurkan tangan kanannya, aku membalas uluran tangannya.

"Livia Anastasya" jawabku.

[ 4 ] Only With My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang