Angie terus berkelut dengan pikirannya sendiri sampai rumah. Dia tak habis pikir dengan kelakuan Nico yang seenaknya. Nico yang menantang Fabio, tapi dia yang harus bertanggung jawab. Apa ini adil? Apakah ini adil? Tanyanya dalam hati. Menangis saat inipun sudah tak ada gunanya. Angie merasa sangat percuma sekali menangis saat seperti ini. Dia bingung, apa yang seharusnya dia lakukan? Besok. Pertandingannya besok.
Angie berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya. Berpikir dengan keras, dia tak mungkin mundur jika tidak mau Fabio menjadi semakin menjadi-jadi. Tapi Angie juga tak yakin dia bisa mengalahkan Fabio. Fabio adalah penari yang hebat, semua orang tahu itu. Bahkan Fabio bisa merebut kedudukan kapten Cheer dengan mudah.
Angie teringat kejadian beberapa waktu lalu di sekolah. Setelah Fabio meninggalkan kantin dengan segerombol pengikutnya. Nico dengan senyuman termanis yang dia miliki, −yang Angie yakin hampir setiap cewek di sekolah itu akan meleleh karenanya dengan pengecualian Angie didalamnya− berkata dengan santainya
"Aku yakin kamu bisa mengalahkannya dengan mudah Nggi."
Angie langsung menampar wajah Nico sekeras yang dia bisa. Rasa marahnya tak terbendung, Angie tak peduli Nico akan membalas tamparannya seperti biasanya atau tidak, juga tidak peduli kalau-kalau dia akan mendapatkan hukuman lagi karena membuat keributan di kantin. Tapi Nico tak membalasnya, hanya rasa bersalah yang tergambar diwajahnya. Melihat itu semua, hati Angie jadi tersentuh.
Angie berkata dengan hati-hati.
"Maaf, aku tidak bermaksud−" Tapi kata-katanya terhenti. "Bukannya aku takut kalah dari Fabio. tapi kau tahu sendiri seperti apa Fabio ketika menang dari aku. Juga aku tak bisa membayangkan apa yang nanti terjadi kalau sampai dia kalah."
Nico diam, pandangannya tertuju pada mata Angie yang cokelat terang.
"Fabio itu adalah tipe orang yang tidak mau kalah. Okelah dia hebat. Tapi dia akan melakukan apapun agar dia menang."
Angie kemudian beranjak dan keluar dari kantin meninggalkan Nico sendiri di sana.
Lamunan Angie buyar ketika mendengar sura Mitsuki bersama mama Ira di dapur. Angie heran, sepertinya dapur Angie mengandung magnet bagi Mitsuki. Setiap kali mitsuki datang ke rumah ini, tempat yang pertama dia kunjungi adalah dapur. Tak ada lagi yang lain.
Mitsu! Angie tersontak kaget dengan nama itu. Angie merasa bahagia sekali hari ini ketika melihat Mitsuki, seolah Mitsuki akan menjadi dewa penolongnya. Memang sih, Mitsukilah yang mengajarinya menari untuk persiapan audisi. Bagi Angie saat ini, bertemu mitsuki itu seperti menemukan sumber mata air ketika terjebak di gurun yang kering dan panas.
Angie langsung menuju dapur detik itu juga untuk menenmui Mitsuki. Dengan kekuatan penuh Angie menggandeng lengan Mitsuki dan menyeretnya ke ruang tengah dimana ada cukup ruang untuk bergerak. Mama Ira hanya tersenyum geli melihat kelakuan mereka berdua. Sepertinya mama Ira sangat senang karena Angie bisa sangat akrab dengan Mitsuki.
Angie benar-benar berharap dia akan menguasai semua langkahnya hanya dengan latihan hari ini saja.
Mungkin memang berat latihan hanya satu hari. Akhirnya Angie menceritakan kejadian di kantin bersama Nico dan Fabio kepada Mitsuki. Bukannya prihatin atau apa, Mitsuki hanya tertawa karena merasa bahwa tindakan yang diambil Nico sangat kekanakan, juga sikap Angie yang tidak bisa menolak itu membuat perutnya sakit karena tertawa yang berlebihan.
"Kamu ini kenapa Nggie, bilang 'tidak' apa susahnya sih?" Kata Mitsuki kemudian.
Dengan bibir manyun Angie hanya mendengus kesal mendengar jawaban temannya yang satu itu.
Kemudian Mitsuki menggenggam kedua tangan Angie dan berkata. "Percayalah, kamu pasti bisa melakukannya."
Angie tersenyum mendengar Mitsuki berkata seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER SWEET
Teen FictionAngie menyatakan perasaannya kepada Leo, temannya sejak SMP di taman sekolah tepat setelah upacara penerimaan siswa baru di SMA Galileo. Pangeran es itu menolak dengan dinginnya pernyataan cinta Angie. Suatu hari, Mitsuki tetangga sebelah rumahnya s...