"Besok ikut ke taman bunga?", Rafly bertanya pada Raya.
"Bayar nggak?"
"Engga lah, kita kan osis"
"Eh eh tunggu... itu kelas Faris ya yg perpisahan?"
"Angkatan Faris Ray"
Mata Raya langsung berbinar, ia mengangguk-angguk antusias dan Rafly tersenyum melihatnya.
"Oke, gue data dulu trus lapor ke kak Mudin"
"oke"
***
Rafa berdiri di muka pintu kelasnya, menyaksikan Raya yang tengah berteriak-teriak memanggil nama Faris yang tengah bermain futsal tengah hari bolong begini. Mata itu berbinar, senyum itu lebar dan Rafa sedikit iri pada Faris. Secepat itu Raya melupakannya?, salahnya juga yang tak merespon kode-kode yang di berikan gadis itu padanya.
Julio berjalan dari arah kantin melewati kelas-kelas anak smp dan membuat dia di sapa oleh beberapa siswi smp, itu hal biasa. Dan Julio tetap bergaya sok cool hanya dengan melirik dan mengangkat ujung bibirnya sedikit yang ia bilang kalau itu adalah senyum yang bikin cewe-cewe di sekolah kelepek-kelepek. Raya memutar bola matanya sambil terkekeh melihat tingkah laku Julio.
Saat melewati tempat Raya duduk, Julio menarik kuncir rambut Raya dan membuat rambut hitam legam milik Raya berkibar-kibar berantakan oleh tiupan angin.
Walaupun rambutnya sebatas telinga sekarang, Raya selalu menguncir rambutnya setengah agar tidak terlihat begiti aneh.
"Nah, acakan gini lebih mantep Ray. Apalagi kalau panjang kaya dulu", Imam memberinya acungan jempol tepat di depan hidung Raya.
Julio lalu malah mengacak rambut Raya dari belakang tanpa mengembalikan kuncirannya, "Lio, berantakan" geram Raya pada Julio di belakangnya.
"Metal kalau kata Imam haha, tapi bagusan panjang kemarin Ay"
Raya lalu berbalik menghadap Julio dan mata mereka bersitatap, Julio secara reflek merapikan rambut Raya dan Rafa melihat adegan itu, dua orang itu trlihat romantis di mata Rafa. Mata mereka tak kunjung lepas dan Rafa mendengus muak melihatnya.
Dulu Raya pernah seperti itu menatapnya, apa jantung Raya berdebar saat menatap Julio seperti itu?.
"Ay..."
Suara julio mengalun di telinga Raya, terbawa angin yang lumayan kencang berhembus siang itu. Mereka berdua tidak sadar kalau semua mata tengah memperhatikan mereka termasuk para pemain futsal plus Faris tentunya.
"Aya... Ayaa..", tangan Julio yang tadinya mengelus kepalanya kini turun ke pipinya, turun lagi ke lengannya dan berhenti di sikunya.
"Kenapa?", tanya Raya polos masih dengan menatap Julio dengan biasa saja, ia tidak merasakan apa-apa saat tangan besar dan kekar milik Julio menyentuhnya sedemikian rupa. Harusnya ia senang jika ini terjadi saat ia kelas sepuluh dulu tapi sekarang ia merasa lucu.
Julio sadar wajah polos dan mata polos itu menatapnya dengan sangat lucu, tak ada rona merah di wajah itu. Ia heran, padahal pacarnya saja sudah merona pipinya saat di tatap saja tapi Raya malah bereaksi datar.
Sekali lagi Julio mengusap lembut pipi Raya, berulang-ulang menginginkan mendapatkan respon dari perubahan wajah Raya tapi tidak kunjung berubah juga.
"kunciran gue", ucap Raya sambil mengulurkan telapak tangannya meminta kunciran yang masih Julio genggam.
"Lio, Lina ngeliat lo giniin gue dari kaca kelasnya", Raya mengingatkan agar Julio berhenti mengelus-elus pipinya.
"Biarin", hanya itu dan Julio langsung mengarahkan pandangannya ke pintu kelas dan matanya bersibobrok dengan pandangan mata Rafa yang juga rahanya sedikit mengeras. Ada apa dengan Rafa?, pikir Julio. Mungkin sedang bertengkar dengan Annisa, pikirnya berbaik sangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Bulan Untuk Berdua
Ficção AdolescenteSoraya Putri Aku yang selalu beranggapan, bahwa aku dapat melakukan segala hal sendiri ternyata masih membutuhkan orang lain untuk menunjukan apa yang belum pernah ku lihat, sentuh dan ku temui. Note: judul cerita ini dari kumpulan cerpen tere liye...