maju satu langkah?

5.4K 333 12
                                    

Mobil yang kutumpangi berjalan membelah jalanan ibu kota yang sedikit lenggang dengan kecepatan rata-rata, nggak ada yang memulai bicara, kita –aku dan dokter Verdhi- memilih bungkam.

Aku bungkam karena sebel, masih ingatkan kalian apa yang terjadi antara jidadku dan dashboard mobil yang berciuman dengan mesra sampai memberi bekas yang begitu cantik di jidadku. Bekas yang begitu istimewa, hanya akulah satu-satunya orang mendapat ciuman mesra dari dashboard mobilnya.

"Aku nggak mau pulang"kataku lirih. Matanya melirikku yang juga sedang menatapnya dengan wajah datar.

Dia menghela nafas kasar tapi tak membelokkan mobilnya yang sudah masuk ke gerbang perumahan elite.

"Aku bilang aku nggak mau pulang dokter. Kalau dokter mau ketemu papa mendingan turunin aku di sini"sambungku melepaskan seatbelt yang membelit tubuhku dan bersiap membuka pintu mobil meski mobil yang kutampangi masih berjalan, kalau saja dia nggak mencekal lenganku menariknya sedikit kuat menyuruhku untuk duduk dengan benar.

"Ok kalau kamu nggak mau pulang kamu mau kemana? Kerumah Nandi? Terus pacaran sama orang di taksir adikmu gitu? Jangan harap!!"katanya dingin mengunci pintu mobil. Aku mendesah lalah.

Segitu jeleknya ya aku di mata dia?.

"Aku mau kerumah tante Velin"jawabku acuh tak acuh.

Dia menghela nafas jengkel dan menghentikan jalan laju mobilnya, berputar untuk kembali keluar dari kawasan perumahan elite.

Lagi dan lagi suasana di mobil hening kayak kuburan, denyutan di keningku yang begitu terasa membuatku nggak bisa-bisa ngapain, mau mijit entar malah tambah sakit, mau di elus bawaanya pengen nangis. Bingungkan mau ngapain?

Mobil yang kutumpangi terus melaju membelah jalan raya, aku sesekali berucap untuk menunjukan jalan kerumah kak Calvin. sekitar 50 menitan aku sampai di depan gerbang rumah tante Velin yang keliatan sedikit rame, banyak anak yang seliweran kesana kemari di balik gerbang, dan beberapa cowok yang seusia Delvo sedang tertawa, aku nggak tau siapa saja mereka aku hanya tau salah satu di antara mereka, Delvo pastinya.

Kepalaku menoleh kearah dokter Verdhi yang sedang berdiri di samping pintu mobil sebelah kemudia dan kembali menatap halaman rumah tante Velin yang sedang rame saat dia menolehkan kepalanya kearahku.

Delvo menoleh kearahku dan tersenyum manis, tangannya melambai yang aku balas lambaian tangannya namun beberapa detik setelahnya matanya membulat, dia berdiri dengan tergesa dan berlari kearahku. Aku yang nggak tau ada apa sama Delvo hanya bisa mengrenyitkan kening, menatap tubuh Delvo yang kian dekat denganku.

"Jidad loe kenapa? Kok benjol? Biru lagi, ini juga ada bekas darah"

"Duh"ringisku kesakitan saat Delvo menekan jarinya di jidadku.

Kugeplak tangannya kuat dan menutupi keningku yang kian nyut-nyutan. "sakit begok"

Dia meringis seolah ikut merasakan rasa sakit akibat kelakuannya tadi "sory"katanya lirih dan menurunkan tanganku dari jidad, meneliti jidadku dengan intens. Dia sungguh... huh.

"ini kenapa bisa kek gini? Bengkak gini loh, sakit banget pasti"katanya masih meneliti benjolan di jidadku, matanya menyipit, gayanya persis kayak professor yang sedang meneliti tumbuhan langka. Menyebalkan.

"Nggak kenapa-kenapa kok Delv, ini itu tadi gua jatuh, nggak usah lebay juga ish"

Delvo mendelik dan menekan benjolan di keningku keras, aku mengaduh kesakitan dan mencubit lengannya keras.

"Lagian mana ada jatuh sampe kayak gini bentuknya, jatuh di man aloe? Di candi Borobudur?"

"Haha lucu!!"kataku sebal.

That's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang