VII a Feeling

292 11 2
                                    

Stark melirik kalungku sepintas dan hendak menyalakan mesin mobil ketika tiba-tiba tubuhnya menegang. Tunggu. Ada apa?

"Ka... kau... kalung itu... da... darimana k kau men men dapatkan nya?" Stark membelalakkan matanya tampak sangat terkejut, berkata terbata-bata sambil menunjuk kalungku dengan tangan gemetar. Ada apa dengannya? sorot mata dan sikapnya tampak seperti... terkejut?Takut? Lega? Atau sesuatu lain yang sama sekali tak dapat kumengerti? Sungguh penuh misteri.

"Dad memberiku kalung ini semalam. Ia bilang ini adalah kalung warisan keluarganya dari berbahgai generasi, sejak kalung ini diciptakan, hingga kemudian jatuh kepadaku. Ada apa, Stark?" aku memangdangnya khawatir. Bagaimana tidak? Ia tampak ceria sebelum melihat kalung ini, dan tiba-tiba sikapnya berubah drastis. Aku tak tahu...

Stark bergeming. Masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Kumohon berbicaralah sesuatu. Aku tak tahan dengan kebisuan yang menegangkan ini.

"Stark? Apa kau amsih bersamaku?" ku tengokkan kepalaku kearahnya yang tampak seperti batu, tak bergeming hingga kusentuh pundaknya. Sepertinya ia terkejut setengah mati. Apa?

"Apa, Hana? mengapa?" hah? Apa yang dibicarakannya? Aku menganga menatapnya.

Stark mengacak rambutnya sebelum menjawab, "Oh tidak. Maaf. Maaf karena keterkejutanku. Kalungmu pasti sangat berharga bagimu. Itu sangat indah"

"yea... aku sangat mengaguminya, aku beruntung mendapatkan ini" kukerjapkan mataku dan tersenyum menjawab pertanyaannya. Tubuhnye kembali sedikit rileks. Oh bagus.

"Kau istimewa, Hana. mungkin kau belum menyadarinya saat ini. Suatu saat aku akan memberitahumu. Ayo, kita berangkat mencari apartemen" ujarnya. Apa? Istimewa? Mengapa? Jujur saja, aku sangat senang mendengarnya. Tetapi mengapa Stark harus memberitahukan alasannya nanti? Oh. menunggu.saat.yang.tepat. Tidak.

***

Setelah insiden itu, kami terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku dengan kebingunganku. Kupandang wajah sempurnanya itu, berharap menemukan suatu hal yang akan membuatnya konyol seperti jerawat mungkin? NIHIL. Aku sama sekali tak menemukan kecacatan wajahnya. Tuhan? Kenapa engkau begitu mulia pada laki-laki ini? Oh. aku mulai meracau.

Stark POV

Demi raja vampire!!! Buku itu benar adanya. Hana benar-benar... dia memang orangnya. Dia adalah keturunan seorang Healer. Itu terlihat jelas. Setiap Healer memiliki kalung berbentuk kunci. Kunci itu merupakan makna bahwa Healer adalah penentu suatu kerajaan akan berhasil ataupun kalah dalam peperangan. Healer sangat dibutuhkan dalam kerajaan karena ialah satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit apapun pada vampire hanya dengan menyentuh bagian yang sakit atau terluka. Healer jugalah yang harus dijaga ketat—selain raja—karena biasanya ia adalah incaran kerajaan lain. Tidak. Aku tidak boleh membiarkannya jatuh pada kerajaan lain. Dia milik kerajaanku. Dia milikku. Takkan kubiarkan siapapun menyentuhnya, apalagi menyakitinya. Aku bersumpah aku akan menjaganya dengan segenap jiwaku karena dia Healer, terlebih dia adalah takdirku, separuhku. Aku mencintainya.

Kutolehkan wajahku untuk menatap wajahnya. Sepertinya kami tenggelam pada pemikiran kami masing-masing. Apa yang dipikirkannya hingga ia menatapku lekat-lekat seperti itu? Tanpa sadar akupun tersenyum. Oh, aku mencintainya. Diam-diam aku ingin menggodanya.

"Apa yang sedang kau pikirkan? Aku tau aku tampan, tetapi kau tak harus menatapku lekat-lekat seperti itu, kau tau?" ujarku tetap fokus menyetir. Yaampun. Wajahnya memerah. Karenaku.

"Ah? Hm... ti... tidak. Aku tak memikirkanmu. Aku hanya... err... mmm..." tampaknya dia kebingungan. Sangat jarang melihatnya salah tingkah seperti ini. Aku menyukai momen seperti ini.

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang