Bagian 3 : Tunangan Tak Dikenal

3.3K 205 2
                                    

Bagian 3 : Tunangan Tak Dikenal.

***

Sinar mentari menyusup dari balik tirai.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang terasa perih karena cahaya mentari yang langsung menyilaukan mataku. Aku memejamkan mataku kembali, dan kemudian membukanya lagi. Kini pandanganku masih terasa remang-remang, tapi setelah aku mengerjapkan mata beberapa kali, kini penglihatanku mulai berangsur jelas.

Pandanganku menelusupi ruangan tempatku berada, semuanya serba putih . . .

Bau di ruangan ini juga terasa begitu tak mengenakkan, rasanya seperti bau obat.

Obat... Rumah sakit?

Aku mengerutkan keningku bingung, dan karena tindakanku barusan, tiba-tiba kini kepalaku terasa sangat nyari. Tetapi, anehnya rasa nyeri ini tak mampu mengalahkan rasa kebingunganku.

Aku meneliti diriku sendiri yang tengah berbaring di atas sebuah ranjang kecil khas rumah sakit dengan seprai putih, dan selimut yang senada. Di tangan kiriku terdapat jarum infus yang tertutup plester tampak menusuk di sana. Lalu di hidungku terdapat sebuah alat yang sepertinya membantuku bernafas -yang tak kuketahui namanya- berbentuk seperti kodok.

Aku menggerakkan jemariku ke kepalaku yang berdenyut menyakitkan, dan barulah kini aku merasakan bahwa di kepalaku terbalut perban yang tebal, melingkupi di sana.

Apa yang terjadi denganku sebenarnya? Batiku kebingungan.

Aku mencoba memijat kepalaku untuk berusaha meredakan rasa nyerinya, namun yang terjadi malah kepalaku bertambah sakit.

"awww . . ." Aku merintih, mengeluarkan suara kesakitan.

"kamu sudah bangun?" tiba-tiba ada suara khawatir seorang pria serak khas bangun tidur di telingaku. Aku mengedarkan pandanganku mengelilingi tempatku berada.

Kemudian akhirnya mataku menangkap sesosok pria asing yang berdiri dari sofa dan berjalan mengahampiriku. Saat dia sudah berada di tepi ranjangku, tangannya memencet tombol merah yang berada di dinding belakang kepala ranjangku.

Pria asing tersebut memakai kemeja abu-abu dengan kancing atas yang terbuka, lalu bagian kedua lengannya ditarik hingga sesiku. Mataku menelusuri wajahnya yang terlihat kusut dengan rambut acak-acakan miliknya, namun meskipun begitu, menurutku dia terlihat tampan.

"A.. a.. aku-"

"Sttt.. Sudah jangan terlalu memaksakan diri untuk berbicara, kondisimu masih belum stabil" ucapnya memotong perkataanku dengan penuh perhatian.

Aku menatapnya ragu-ragu, siapa pria ini? Kenapa dia terlihat begitu mengenalku?

"Aisshh.. Kenapa dokter lama sekali datangnya!" keluhnya lirih dengan nada kesal, namun masih terdengar di telingaku.

"Kau tunggu di sini sebentar oke? Aku akan memanggil dokter sebentar-"

"Tung.. tunggu!" potongku lirih saat melihatnya hendak melesat pergi dari hadapanku. Dia menghentikan langkahnya, membalikkan badan dan menatapku sabar.

"Ya, ada apa?" tanyanya begitu pengertian. Bersamaan dengan itu, kurasakan tangan kananku di genggam oleh tangannya.

Terkejut dengan aksinya yang tiba-tiba, reflek aku segera menarik tanganku dengan cepat yang berada di genggamannya.

Walaupun hanya seperkian detik ia menyentuh tanganku, tapi aku dapat merasakan tangannya yang begitu dingin. Aku tidak tau apakah itu mungkin efek dari AC yang ada di ruanganku berbaring saat ini, atau memang ia asli memiliki tangan yang bersuhu dingin.

Namun yang pasti, aku merasa ketakutan begitu ia menyentuhku. Aku tidak tau kenapa bisa merasa takut seperti ini, semuanya terlalu rumit.

"Hey, kau kenapa? Apakah ada yang salah?" tanyanya penuh kekhawatiran setelah melihat aksiku yang terlihat menghindarinya.

Kulihat wajah gusar tercetak jelas memenuhi wajahnya, namun saat bola mata kami bertemu, ia segera menetralkan wajahnya kembali.

"Anda.. siapa? Kenapa saya bisa disini?" tanyaku lemah sedikit terbata menatapnya bingung.

Setelah mengeluarkan pertanyaan yang menurutku biasa, kulihat pria tersebut tampak tersentak diam, ia menatapku dengan mimik terkejut dan tak percaya. Wajahnya menyinarkan seolah tengah mencerna perkataanku.

Pria tersebut kemudian menatapku dalam-dalam dengan iris hitam di matanya, seolah mencari kebenaran ucapanku. Aku menatapnya penuh kebingungan, kenapa aku tidak mengingat apapun, semuanya terasa kosong. Kepalaku benar-benar kosong.

"kau sedang bercanda ya?" tanya pria asing di depanku ini mengeluarkan suara setelah terdiam cukup lama.

"saya tidak bercanda... Sungguh." Jawabku mencoba menyakinkannya.

"Kau tunggu di sini, aku akan memanggil dokter-"

Belum usia pria tersebut menyelesaikan ucapannya, terdengar suara pintu terbuka memotong ucapannya, kemudian bersamaan itu munculnya seorang dokter laki-laki yang diikuti dua suster wanita di belakangnya berjalan menghampiri kami.

"Saya akan memeriksa kondisi pasien." Ucap dokter tersebut meminta ijin kepada pria asing tersebut dengan sopan, dan dibalas anggukan olehnya.

Setelah dokter tersebut selesai memeriksaku, ku lihat dokter tersebut menghampiri pria asing tersebut dan mulai berbicara, "Saya ingin mendiskusikan kondisi pasien saat ini-"

"Di luar saja, dok." Potong pria asing tersebut yang diangguki oleh dokter. Lalu mereka melangkah hendak pergi.

"Tunggu.. " ucapku lemah saat melihatnya akan pergi bersama dokter. Pria tersebut memhentikkan langkahnya dan melangkahkan kakinya mendekatiku.

"Ya ada apa?" tanyanya penuh perhatian, membuatku begitu tersanjung.

"Jawab pertanyaan saya tadi... Anda siapa?"

Mata itu menatapku dalam diam sebentar, seolah berfikir. Tiba-tiba ada secercah senyum tipis yang terlihat bahagia nampak di bibirnya, "aku Farel, tunanganmu." Pria tersebut bergerak mendekat ke arahku, hingga tanpa terasa aku merasakan sesuatu yang terasa dingin membelai dahiku... Ini bibirnya, tanpa seijinku dan terduga ia menciumku, di kening.

Rasanya... Entahlah.

"Dan kau Tunanganku, hartaku dan milikku paling berharga." Sambung pria asing tersebut setengah berbisik.

Setelah mengatakannya, pria tersebut kemudian pergi keluar bersama dokter, meninggalkanku yang terdiam membisu setelah mendengar ucapannya.

Aneh sekali, hidupku.[]

TBC

Eighteen AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang