Happy reading!
***
Tania menatap penuh minat dan kagum ketika memasuki ruangan dosennya, Sir Brian. Pandangan matanya terkagum-kagum akan ruangan yang tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil juga. Semuanya terlihat sederhana namum berkesan nyaman. Warna dindingnya yang dominan akan warna pastel mencerminkan sangat pria sekali. Pengharum ruangan yang semerbak akan aroma kayu-yang membuat Tania terheran-heran 'bagaimana bisa?'-membuat ia terbuai dan sangat menyukai suasana di sini.
"Bagus," guman Tania pelan sambil tersenyum tipis.
"Apa?" tanya Brian menyauti gumanannya. Hal itu tentu mengejutkan Tania, membuat Tania sadar bahwa di ruangan ini dia tidak sendirian.
"R-ruangan anda bagus, Sir," jawab Tania tergagap, dia segera menoleh ke arah Brian yang ternyata sudah duduk di balik meja kerjanya.
"Benar, kuakui ruangan ini memang sangat bagus dan nyaman," Brian tersenyum samar kemudian pandangannya mengelilingi ruangan di mana mereka berada sekarang sebentar, "tapi sayangnya ini bukan ruanganku, Tania."
Tania mengangkat satu alisnya bingung.
Seolah menyadari kebingungan Tania, Brian terkekeh pelan kemudian berkata, "Aku hanya menggantikan temanku, Ave, Ingat? Jadi ruangan ini adalah miliknya," jelasnya dengan senyum geli.
"Ah.... begitu rupanya." Suara Tania terdengar mengerti dan ia mengangguk paham. "Baiklah, Sir. Ada perlu apa Anda menyuruh saya ke ruangan Anda?" tanya Tania dengan sopan dan jujur saja ia sebenarnya sangat tidak ingin berbasa-basi dengan dosennya ini. Karena setelah ini ia sudah memiliki jadwal ke rumah sakit untuk menemui seseorang. Dengan artian ia harus cepat-cepat pergi.
"Sudah kukatakan jangan berbicara dengan nada sopan atau formal kepadamu," Brian menatap manik matanya dengan sarat memohon. Tania dibingung, ini bukanlah jawaban dari pertanyaannya. Dan kenapa dosennya ini sekarang berbicara keluar dari topik?
"Memangnya anda pernah mengatakan hal tersebut, Sir?" Kapan dia mengatakannya?
"Pernah, di Ruang Kesehatan. Tepatnya setelah kau sadar dari pingsanmu," jelas Brian santai kemudian melepaskan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung mancungnya.
Tania menatap terdiam dengan pemandangan di depannya, adegan di mana Brian melepas kacamatanya terlihat begitu lambat di matanya. Sangat tampan. Ck!
Begini nih, resiko kalau punya cowok ganteng lagi pergi. Mata pun jelalatan ke cowok ganteng lain.
Farel, tunanganku. I'm sorry, hmmm.
"Kau lupa?" tanya Brian yang suaranya terdengar seperti kekecewaan di telinga Tania. Tania meringis pelan, memang benar dirinya sudah lupa jika Sir Brian pernah menyuruhnya untuk bicara tak terlalu formal padanya.
Dan kini kerutan di dahinya semakin berkerut. Bagimana bisa pria ini tau dia lupa? jangan-jangan dia jelmaan karakter Edward Cullen di seri Twilight saga yang bisa membaca pikiran?
"Wajahmu itu sudah seperti buku terbuka, mudah dibaca." Brian tersenyum tipis ketika mengatakannya. Pria itu benar-benar terlihat seperti bisa membaca pikirannya. Di dalam hati Tania bergidik ngeri sendiri.
"Nah sekarang aku tidak ingin berbasa-basi. Ada yang ingin keberitahukan padamu," ucap Brian dengan serius. Akhirnyaaa....
"Iya, Sir, silahkan." Tania menelan air liurnya kelu, dia merasa gugup. Firasatnya mengatakan kalau ini adalah hal penting.
"Nilaimu ... berantakan," Suara Brian terdengar kecewa dan prihatin, bersamaan dengan itu Brian memberikan kertas di depan Tania yang ia yakini sebagai hasil kuisnya tadi di mata kuliah Brian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eighteen Again
RomanceTania. Suka sama sahabat sendiri itu emang bego banget. Udah tau begitu, tapi dia masih saja jatuh secara perlahan dengan Brian. Ditolak berkali-kali, sakit ribuan kali, rasa di hati Tania masih sama saja. Harapan ia hanya satu, ia bisa lupa dengan...