Ingatlah pepatah: Easy Come, Easy Go.
***
Waktu terus berlalu, gelapnya sang langit yang awalnya penuh bintang kini telah usai dan tergantikan oleh sinar mentari yang memberikan penerangan ke seluruh alam.
Di tempatnya berada, Tania masih diam dengan tubuh setengah membeku dingin dan terjaga semalamam. Badannya masih meringkuk tanpa memperdulikan tubuhnya yang gemetar kedinginan karena merasakan sisa hembusan angin malam yang masuk ke kamarnya.
Pandangan Tania kacau, entah apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran gadis itu. Rambutnya sudah berantakan, bagian matanya pun sudah mencekung dan menghitam layaknya panda karena menangis semalaman, wajahnya bahkan terlihat bengkak. Jika biasanya mata disebut sebagai tempat di mana semua emosi terpancar, kini di mata gadis itu tidak ada sorotan apapun. Ia memang masih membuka mata, namun jiwanya seolah telah pergi. Meskipun begitu bukan berarti ia mati, dadanya yang bergerak naik turun masih membuktikan ia bernafas. Intinya, Tania terlihat memprihatinkan dan butuh pertolongan.
Kini sinar mentari yang awalnya berada di ufuk timur lama kelamaan telah berganti kedudukan menjadi di tengah-tengah langit. Ia memancarkan sinarnya begitu terang, seolah menegaskan bahwa memang di sanalah singgasananya berada. Bersamaan dengan itu, tanpa di sadari Tania, pintu apartemennya terbuka secara bersamaan dengan munculnya seorang pria berpakaian kemeja dengan lengan digulung hingga sampai ke kedua siku sehingga memperlihatkan kedua bisepnya yang tampak sempurna. Di sisi lain tangan kanan pria itu tengah menarik koper besar miliknya untuk masuk ke dalam apartemen.
Wajah pria itu tampak kusut, bahkan aura kelelahan telah terpancar dari ekspresinya.
Tapi ada yang mengganjal dari semua itu.
Pria itu terlihat masuk ke dalam apartemen dengan gerakan tergesa-gesa dan tak sabaran. Setelah menutup pintu, pria itu segera menaruh kopernya sembarangan dan kemudian berjalan dengan langkah cepat dan kasar menuju suatu ruangan.
Perasaan pria itu tak enak, ia tau dirinya sebenarnya telah melakukan sesuatu yang fatal. Firasatnya bertambah mantap ketika apartemen yang di injaknya kini sekarang nampak sunyi, seolah tak berpenghuni. Tapi ia yakin jika penghuni apartemen ini masih ada, terbukti dengan sandal, sneakers, dan flat shoes milik perempuan yang ada di dekat pintu apartemen.
Pria itu melonggarkan dasi di lehernya dengan gerakan kasar. Kemudian ketika langkah kakinya yang masih bersepatu hitam bertemu dengan dinginnya lantai, mereka menghasil bunyi 'tak tak' yang terdengar memecahkan keheningan di sekitarnya.
Saat mencapai ruangan yang dicarinya, pria itu langsung membuka pintu dengan sekali dorongan.
"Tania," panggilnya pelan dengan parau dan sarat penuh kerinduan dan penyesalan. Saat matanya menemukan obyek yang di carinya, mata pria itu langsung membulat.
"Astaga! Apa yang terjadinya denganmu?!" seru pria itu panik lalu langsung mendekati Tania dengan cepat.
"Hei, kamu kenapa?" tanya pria itu kepada dengan sangat gusar. Ia merangsak maju dan tangannya hendak menyentuh wajah Tania, namun gerakannya langsung terhenti seketika ketika kepala gadis sengaja membuang muka dan menghindari sentuhannya. Hati pria itu langsung mencelos, pria itu mengepalkan tangannya erat-erat agar tangannya tidak mencengkram dadanya sendiri yang mendadak terasa remuk redam.
"Tania..." panggil pria itu dengan nada terluka.
"Per... gi," jawab Tania lirih dan penuh penekanan.
"Tan--"
"AKU BILANG PERGI!!!" jerit Tania marah kemudian menolehkan kepalanya ke arah pria itu dan langsung menatap pria itu tajam saat mencoba mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eighteen Again
RomanceTania. Suka sama sahabat sendiri itu emang bego banget. Udah tau begitu, tapi dia masih saja jatuh secara perlahan dengan Brian. Ditolak berkali-kali, sakit ribuan kali, rasa di hati Tania masih sama saja. Harapan ia hanya satu, ia bisa lupa dengan...