Bagian 6 : Dosenku oh dosenku.
***
Tubuh yang begitu lemas, itu yang Tania rasakan ketika kesadarannya mulai berangsur-angsur pulih. Mengerjap beberapa kali, Tania perlahan bisa merasakan sinar lampu di atasnya yang menyilaukan di matanya.
Ia menatap ke sekelilingnya. Sepi, batinnya.
Ia mencoba bangun dan duduk di ranjang tempatnya berbaring. Dan seketika itu juga, dia merasakan sedikit pusing di kepalanya, lalu dia menggerakkan jemarinya memijit kepalanya.
Tania tidak tau di mana ia tengah berbaring sekarang. Ini bukan di kamarnya di apartemen yang cat dindingnya bernuansa coklat kayu muda. Ruangan ini tampak bewarna putih semua Dia menebak, rumah sakit? Tidak mungkin, elaknya. Ruangan ini tidak ada bau khas obat-obatan seperti rumah sakit pada umumnya.
Ceklek ...
Mendengar suara pintu terbuka, Tania segera menatap ke arah pintu. Di sana ia melihat sesosok pria tak dikenalnya masuk dengan membawa nampan.
"Kamu sudah sadar?" tanya pria itu ketika membuka pintu dan mata mereka berdua saling menatap sebentar.
"Ehm ... Iya." jawab Tania singkat, bingung dan gugup.
Dia gugup? Oh tentu. Bagaimana tidak, pria asing yang menanyainya ini adalah pria asing. Di tambah lagi, ketika pertama kalinya dia melihat pria itu, ia merasa ... Tertarik.
Ya tertarik. Baginya pria itu bisa dikatakan cukup tampan. Tubuhnya yang terlihat tegap dan kokoh terbalut dengan setelan jas dilengkapi dasi membuatnya terlihat mapan. Dia berpakaian kayaknya pria kantoran, dan penampilannya seperti eksekutif muda. Di tambah lagi, rambutnya yang sedikit acak-acakan membuatnya terkesan hot. Tania menggeleng-gelengkan kepalanya membuang pikiran terakhirnya. Hot? ya Tuhan pikirannya.
Tania menatap wajah itu sebentar ... Entah kenapa wajah pria itu terasa tak asing di benaknya.
"Makanlah" suara pria itu mengagetkan dirinya dari lamunan. Tanpa di sadari ternyata pria itu sudah duduk di samping ranjangnya. Dia tengah memegang mangkuk di tangannya yang berisi bubur sambil menatapnya.
Kenapa bubur?!! Tania menjerit di dalam hati, dia sangat tidak menyukai bubur. Antifans malahan. Baginya bubur itu adalah makanan yang menjijikkan. Rasa yang menurutnya hambar selalu membuatnya ingin memuntahkan makanan itu ke wastafel.
"Aku kenyang, terima kasih." Jawab Tania masih sopan dan berusaha membuang wajah jijiknya terhadap bubur, supaya pria itu tidak menyadarinya.
Tapi tanpa di sadarinya, pria itu menyadari mimik wajahnya. "Kamu tidak suka bubur ya?" tanya pria itu tersenyum simpul.
Tania salah tingkah karena ketahuan, dan juga malu karena senyuman manis pria itu. "Eh, maafkan aku, aku tidak bermaksud menolak makananmu. Hanya saja ... aku ... Em ... Aku ... alergi. Ya alergi!" Tania mendesah lega ketika menemukan alasan yang tepat.
Pria itu terkekeh sebentar menatapnya. Terkekeh. Saudara. Terkekeh. Dan itu luar biasa tampannya! "Aku tau kau bohong" ucapnya santai.
Pria itu tersenyum lagi. Ya Tuhan meleleh sudah hatinya ...
"Kau tau, aku mempunyai sahabat. And she hates porridge so much. Dia bahkan menyebut dirinya sendiri adalah sosok antifans dari bubur" ucap pria itu geli sendiri dan pandangannya menerawang ke atas seperti mengingat seaeorang. Kemudian dia menatap Tania lagi. Entah perasaannya saja atau bagaimana, Tania seperti melihat ada sorot kerinduan di sana.
"Benarkan? Siapa sahabatmu itu? Kau tahu, kurasa aku mempunyai kesamaan dengannya! Aku ini juga pembenci bubur." ujar Tania jujur dan senang sambil terkikik geli sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eighteen Again
RomanceTania. Suka sama sahabat sendiri itu emang bego banget. Udah tau begitu, tapi dia masih saja jatuh secara perlahan dengan Brian. Ditolak berkali-kali, sakit ribuan kali, rasa di hati Tania masih sama saja. Harapan ia hanya satu, ia bisa lupa dengan...