Sebulan berlalu semenjak Lila kembali. Dia jadi lebih rajin pergi ke sekolah, berusaha tak membantah keinginan ibunya dan mencoba bersabar dengan penindasan teman-teman sekolahnya.
Tak ada yang berubah setelah pelariannya waktu itu. Yang berbeda hanya sikap Eza yang menjadi aneh. Dia seringkali menunggu di depan gerbang sekolah, mengajaknya pulang bersama, atau duduk di meja yang sama ketika pergi ke kantin. Bagi Lila sikap itu amat mengganggu, walaupun berkat Eza intensitas penindasan padanya berkurang drastis. 'Memang sudah seharusnya. Dia yang memulai, dia juga yang harus mengakhiri.' batin Lila.
Hanya saja, semua usaha Eza sama sekali tak memberi hasil yang baik. Lila tidak pernah mau memperhatikan semua hal yang dia lakukan. Sampai suatu waktu, Lila merasa telah kehilangan kenyamanannya. Dia dengan ringan mengatakan ajakan pulang bersama dari Eza, agar masalah diantara mereka selesai.
Seperti biasa, Eza duduk di belakang sedang supir yang mengemudikan mobil.
Untuk pertama kali, Lila duduk berdekatan dengan orang yang sejak dulu dia benci.
"Akhirnya kamu mau pulang denganku juga." ungkap Eza.
"Aku pikir, kamu ingin menjelaskan sesuatu padaku. Kamu pasti mendekatiku karena suatu alasan, jadi katakan saja sekarang!" Lila tak ingin berbasa-basi, cukup Eza bicara maka urusan diantara mereka akan berakhir.
"Oh itu, aku menyesal. Bisa kamu memaafkan aku?" pertanyaan ini, ingin sekali Lila jawab dengan satu kata menyakitkan. Sekedar memberi pelajaran. Tapi dia sendiri sadar, Eza telah banyak membantu keluarganya beberapa waktu belakangan.
"Mulai saat ini, aku memaafkanmu. Anggap saja, ini sebagai rasa terima kasihku atas seluruh kebaikanmu selama ini." ujar Lila tanpa ragu.
Ekspresi Eza berubah tak suka, "Jika kamu memang tidak tulus, tak usah memaafkanku. Aku masih bisa menunggu. Dan, sampai saat itu tiba, kita bisa berteman."
Lila terkejut, bukan ini yang dia inginkan. "Aku tulus. Maksudku aku akan berusaha memaafkanmu melalui proses. Tentu saja tak harus dengan cara kita menjadi teman."
Supir Eza mulai memperhatikan pembicaraan mereka yang menjurus ke arah adu mulut. Hal yang tak pernah Eza lakukan dengan siapa pun. "Baik, kita berteman. Tapi, ubah pandangan seluruh teman-teman sekolah kita tentangku. Apa kamu bisa?"
"Aku jamin. Mereka tak akan pernah menindasmu lagi. Tapi sebagai hadiahnya, kamu harus mau ikut aku."
Lila tak mampu membalas, mulutnya terkatup rapat. Dia tak percaya kalau Eza mampu melakukan hal seperti itu.
***
"Masih suka menatap kancing lepas itu? Kukira kakak akan jadi gila hanya karena memikirkan gadis itu." seru Adi saat dia masuk ke dalam rumah. Dia baru kembali dari suatu tempat.
Alan dengan segera menyembunyikan kancing itu ke salam saku jaketnya. "Darimana kamu?"
"Tidak perlu ditutupi, aku tahu kok. Kakak suka kan, sama Lila!" tebak Adi ringan. "Ini udah sebulan dan hal yang kakak lakukan selalu seperti itu. Carilah pekerjaan, dapatkan uang, lalu temui dia."
Alan setengah kesal mendengar nasehat Adi, walaupun hati kecilnya membenarkan usul itu. Setidaknya dia tidak akan terlalu malu jika mereka berhadapan lagi. Karena, semenjak kebenaran tentang ibu tirinya terungkap, tak ada pekerjaan jelas yang bisa dia lakukan selain menjadi tukang ojek dadakan.
'Apa salahnya jika aku melamar pekerjaan, mungkin titik balik hidupku akan dimulai setelah ini.' batin Alan.
***
Lila duduk di salah satu ruangan rumah Eza dengan kesal. Dia bahkan belum meminta izin pada ibunya, dan si empunya rumah malah menghilang setelah beralasan akan mengambil sesuatu.
Lila pikir, Alan tinggal sendirian. Rumahnya terlihat sepi, agak mengarah ke menakutkan. Membuat Lila jadi agak merinding. Sampai Alan kembali bersama ibunya.
Lila tak menyangka ibunya bisa berada disana. "Ibu, kenapa bisa ada disini?"
"Eza nawarin ibu pekerjaan disini, jadi Ibu memutuskan untuk berhenti berdagang di pasar. Kamu tidak keberatan, Lila?" tanya Ibu Lila penuh harap.
Lila tak tega, dia tahu kalau berdagang di pasar sangatlah melelahkan. Pendapatan pun tak menentu. Setidaknya dengan bekerja di rumah Eza, ibunya tak perlu kepanasan berbanjir keringat dan tak perlu mendapat protes dari pembeli.
Semakin lama, hatinya mulai tergerak, seakan mengatakan kalau ada hutang budi yang perlu dia bayar nanti. Yang Lila sesalkan justru tawaran itu datang dari orang yang awalnya dia benci.
"Aku terserah ibu aja." Lila tersenyum walau dalam hati merasa kecewa dengan keputusan ibunya yang begitu mendadak.
"Nanti, kamu akan tinggal disini bersama ibumu. Kita bisa berangkat dan pulang bersama. Kalau mau, kamu bisa belajar bersamaku." ungkap Eza panjang lebar.
Perubahan sikap Eza yang begitu mendadak membuat Lila curiga, ada kepiting di balik batu. Eza yang dia kenal selama ini adalah siswa berandalan yang suka menindas siapa saja. Bukan pribadi sopan dan berhati baik seperti yang dia lihat sekarang.
Ada yang salah, dan Lila tahu, bukan benturan keras yang terjadi pada Eza melainkan sebuah maksud terselubung yang belum diketahui tujuannya. Lambat laun dia akan tahu, dan agar lebih cepat, dia akan mencari tahu.
=======
Gak nyangka, aku gak update sejak 5 bulan yg lalu. Padahal janjinya cuma seminggu. Benar-benar kacau.
Update lagi, setelah mengalami pergolakan batin yang panjang. Antara menghapus atau mengabaikan. Jalan tengahnya tetap melanjutkan. Walopun update-an nya luaamaa.
Oke, aku butuh apresiasi nih. Tinggalkan sesuatu yang berarti, ditunggu !!!?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenyataan Itu...
Teen FictionLari dari masalah adalah kesalahan. Namun dibalik kesalahan itu, Lila sadar bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki kesulitan hidup. Oranglain bahkan memiliki masalah yang lebih sulit, dengan dalih pengorbanan dia rela melakukan hal yang tabu di mat...