Lila 7

49 2 0
                                    

Lila masih berdiri mematung di tempat, penglihatannya tidak mungkin salah. Alan tengah membuka kancing baju seorang wanita paruh baya yang lebih pantas disebut ibunya, sedangkan dia telah bertelanjang dada.

"Kenapa kamu bisa ada disini?" tanya Alan datar, tapi wajahnya terlihat jelas penuh dengan kekhawatiran. Berbeda dengan wanita di hadapan Alan yang terlihat biasa saja, dia malah menarik wajah Alan dan mencium bibirnya paksa.

Lila semakin menganga, 'Acara apa ini!' teriak Lila dalam hati. Dia benar-benar kehilangan orientasi, seumur hidup baru kali ini dia melihat adegan seperti itu. Alan telah melepaskan ciuman wanita paruh baya dihadapannya dengan satu kali dorongan, tanpa mengatakan apa-apa dia mengambil pakaiannya yang tergeletak di lantai.

Lila masih menatap wanita dihadapannya dengan rasa tak percaya, dia bahkan tak terlihat malu sama sekali. "Sebenarnya siapa kamu?" tanya Wanita itu sinis.

"A-aku," Lila menoleh ke belakang, Alan telah menghilang. Dia harus mengejar Alan sebelum dia pergi jauh, untuk apa dia menjawab pertanyaan wanita itu karena siapa dirinya bukanlah hal yang penting.

Lila berbalik, dia memang harus mengejar Alan. Dia kembali melewati jalan yang sempat dilewatinya saat masuk. Di depan pintu dapur, dia bertemu dengan satpam yang sejak tadi telah menunggunya.

"Kenapa lama sekali, aku harus menjaga gerbang. Bagaimana kalau ada maling masuk?" seru satpam itu kesal. Lila yang merasa menyesal langsung menyatakan permintaan maaf.

Jika saja satpam itu tahu apa yang telah terjadi di dalam, sudah barang tentu Lila akan diseret paksa bukan diantar dengan sopan. Beruntung, dia tak tahu apa pun.

"Terima masih atas bantuannya ya pak, sekarang hujan sudah mulai reda. Aku akan pergi." pamit Lila, setelah berada di depan gerbang. "Baguslah, hati-hati di jalan!"

Sepanjang jalan, Alan tak ditemukan sama sekali. Lila sudah pasrah karena tidak menemukannya dimana pun. Itu artinya dia harus jalan kaki, dan yang lebih parah, dia lupa jalan pulang. Benar-benar nasib buruk. Jika saja dia punya ponsel, mungkin dia bisa menghubungi Adi meminta pertolongan.

Udara terasa semakin dingin, Lila memandang ke arah langit. Dia bingung harus melewati jalan mana, rasanya dia ingin menangis apalagi jalanan terlihat begitu sepi. Siapa yang bisa dia tanyai jalan kalau begini.

"Ayo pulang!" sebuah suara mengagetkan Lila. Alan ternyata belum pergi dari sana, dia sangat bersyukur setidaknya masih bisa pulang.

Lila mengikuti Alan dari belakang, suasana yang tercipta diantara mereka begitu canggung. Lila sendiri bingung harus melakukan apa, sedangkan Alan entah apa yang dia pikirkan.

Melihat punggung Alan hanya membuat Lila teringat kejadian yang telah terjadi beberapa saat yang lalu. Dia bahkan belum menginjak usia tujuh belas, tapi dia malah melihat hal seperti itu. Sekarang dia mengerti maksud dari ucapan Adi tadi siang, dia tidak ingin kakaknya terjerumus dalam lubang hitam.

"Kenapa kamu bisa ada disana?" tanpa berbalik sedikit pun Alan bertanya dengan dingin.

"Adi yang memintaku mengikutimu, awalnya aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi sekarang aku mengerti." Lila semakin gencar menggosok-gosok tubuhnya agar lebih hangat. Pertahanannya runtuh, Lila mulai bersin.

Alan membuka jaketnya dan mengulurkan jaket itu pada Lila. "Tidak perlu, aku baik-baik saja." tolak Lila halus.

Alan memaksa, dia tidak akan melanjutkan perjalanan pulang jika Lila tidak menggunakan jaketnya. Dengan sungkan, Lila menggunakan jaket itu. Tubuhnya jadi terasa lebih hangat, tapi sikap Alan inilah yang membuat Lila tidak enak hati.

Dari kejauhan, terlihat mobil berwarna hitam tengah melaju ke arah mereka. Lila tidak mungkin lupa dengan warna mobil Eza, apalagi setelah melihat plat mobil yang sudah sangat dikenalnya itu. Lila kebingungan harus bersembunyi dimana, akhirnya dia merapatkan diri ke punggung Alan dan bersembunyi disana. Alan yang tidak mengerti malah berniat berbalik, Lila tidak mau ketahuan jadi dia menahan tubuh Alan agar tidak berbalik.

Setelah dirasa aman, Lila mulai bernafas lega. Pegangannya mulai mengendur, 'Kenapa dia bisa lewat sini, apa jangan-jangan rumahnya berada disini?' batinnya.

Lila tidak sadar kalau Alan telah berbalik dan tengah menatapnya, Lila malah tersenyum. "Apa sebenarnya yang kamu lakukan tadi?"

"Aku tidak mau ketahuan, makanya aku sembunyi. Aku takut pemilik mobil itu melihatku, dia penjahat yang membuatku tak sanggup sekolah lagi." cerita Lila jujur.

Raut wajah Alan yang awalnya kesal berubah datar, sambil memandang bayangan mobil yang menjauh dia mulai memikirkan sesuatu. "Jangan katakan apapun."

Lila yang mendengarnya jelas kebingungan, "Apa maksudmu?"

"Saat kita tiba, jangan katakan apapun pada Adi mengenai apa yang kamu lihat tadi." Alan menatap Lila tajam, "Jika kamu mengatakannya, aku pastikan kamu akan menyesal."

Ancaman yang keluar dari mulut Alan membuat Lila ketakutan. Jelas sekali kalau ucapannya sangat serius, tapi Lila tidak mau terpojok. Adi tetap harus tahu apa yang terjadi, itu sebabnya dia lebih memilih bungkam di depannya.

Alan mencengkeram kedua bahu Lila penuh peringatan. Namun belum sempat dia melanjutkan ancamannya, sebuah mobil silver berhenti di dekat mereka. Alan tahu itu mobil ibu tirinya, dengan segera dia melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu Lila. Dari wajah Alan tersirat sebuah penyesalan yang besar, Lila tidak mengerti apa yang terjadi. Dia terlalu bingung untuk mencerna kejadian di hadapannya itu dengan kata-kata.

Wanita itu menghampiri keduanya dengan langkah cepat, Lila yakin kalau akan terjadi sesuatu, tapi dia tidak bisa lari melainkan bersiaga. Tepat di depan Alan, wanita itu menatapnya tajam sedangkan sebuah senyuman sinis terarah pada Lila.

"Siapa gadis itu, Alan?" tanya wanita itu dingin, ekspresi kekesalan yang terpancar di wajahnya begitu kentara di mata Lila.

"Dia bukan siapa-siapa, ibu." Alan langsung menggenggam tangan ibu tirinya itu minta pengertian. Wanita itu justru melepas kasar genggaman tangan Alan.

"Kamu tahu, karena gadis yang 'bukan siapa - siapa ini', aku mendapatkan masalah besar." nada suaranya mulai meninggi, Lila sampai terkejut mendengarnya terlebih setelah mendapat tatapan menusuk yang begitu menakutkan.

Lila bergeming di tempat, dia tak tahu harus melakukan apa. Melihat pertengkaran ibu dan anak adalah hal yang biasa baginya, selama ini dia memang selalu bertengkar dengan ibunya sendiri. Tentu saja karena masalah kegilaan menyetel musik keras-keras sehingga mengganggu para tetangga.

Namun dimata Lila, pertengkaran yang tengah dilihatnya saat itu memiliki masalah yang berbeda, ini mengenai sesuatu yang tabu. Seorang ibu sengaja memberikan putranya untuk kesenangan wanita-wanita berumur yang kesepian. Dalam hati, Lila merasa marah sekaligus iba. Disatu sisi dia marah pada ibu Alan dan disisi yang lain dia iba pada nasib Alan.

"Berikan aku kesempatan, bu. Aku janji tidak akan melakukan kesalahan lagi." mohon Alan. Tanpa rasa malu, dia berlutut di kaki wanita itu penuh penyesalan.

Wanita itu tersenyum penuh arti, Lila yang melihat semuanya justru menjadi kesal dan muak. 'Ternyata wanita itu pura-pura bersikap marah hanya agar putranya patuh, benar-benar keterlaluan.' batin Lila

"Baik, aku akan atur lagi jadwalmu. Ingat, jangan pernah buat ibu kecewa lagi." ujarnya dengan nada serendah mungkin, "Jika kamu memang memiliki hubungan khusus dengan gadis itu, lebih baik akhiri sekarang juga." pintanya kemudian.

Alan mengangguk, Lila yang justru tak terima. "Tidak, aku tidak akan mau kita berakhir." seru Lila. Keduanya langsung menoleh penuh keterkejutan mendengarnya.

Kenyataan Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang