Lila 1

121 4 2
                                    

"Lila berhenti menyetel musik keras-keras, para tetangga bisa marah lagi!" teriak wanita paruh baya dari luar kamar. Dengan mengenakan daster kebesaran dan sapu di tangannya, dia menggedor pintu.

Gadis yang diteriaki tetap sibuk dengan lagu metal yang tengah dia nikmati. Dia bahkan menari-nari seperti orang gila, bergaya layaknya penyanyi hebat, dengan rambut panjang yang  acak-acakan.

Lila memang selalu melakukan hal itu jika mengalami stres, terutama jika di sekolah dia mendapat bullying dari teman-temannya. Sayang, tak ada yang tahu hal itu selain dirinya sendiri.

Para tetangga merasa resah jika Lila menyetel musik keras-keras, gendang telinga mereka rasanya mau pecah apalagi rumah mereka memiliki jarak yang tidak terlalu jauh.  Mereka bahkan telah berkali-kali mengancam akan melaporkan hal itu pada Pak RT.

Mereka berpikir kalau Lila memiliki gangguan jiwa karena selalu meminta maaf dan mengaku tak akan melakukan hal itu lagi. Tapi beberapa hari kemudian justru menyalahi perkataannya. Semua sudah berlangsung cukup lama dan sebagian kecil tetangga sudah menyerah namun yang lain semakin gencar menasehati Ibu Lila.

"Lila!" kembali seruan keras terdengar dari luar kamar, gedoran di pintu pun semakin keras.

Gadis itu tersadar dari tariannya dan segera mematikan speaker. Benda itu adalah peninggalan sang ayah, memang terlihat sudah tua karena luarnya saja terbuat dari kayu tapi suaranya cukup untuk mengacaukan para tetangga.

Lila membuka pintu setelah mengikat rambut asal karena tak sempat bersisir. "Ada apa, Bu?" tanyanya seakan tanpa dosa.

"Apa.. katamu! Sudah ibu bilang jangan setel musik keras-keras, tapi masih saja membandel. Kamu lupa ancaman Bu Ratmi tempo hari, kita bisa saja diusir dari sini jika kamu terus-terusan bersikap tidak normal begitu." wanita itu memukul kaki Lila dengan sapu, membuat gadis itu mengaduh kesakitan, matanya mulai berkaca-kaca tapi coba tak menjatuhkan airmata.

"Maafkan aku, lain kali aku tak akan mengulanginya lagi." sesal Lila, dia memang menyesal tapi ibunya sudah tak percaya lagi akan ucapan putrinya itu.

"Ibu akan menjual benda-benda ini, gara-gara benda ini kamu jadi seperti orang gila, Lila." tekannya.

"Tidak, bu. Jangan lakukan hal itu, benda-benda itu barang peninggalan ayah. Aku mohon jangan jual!" Lila memohon sambil berlutut, airmatanya pun mulai tumpah namun sama sekali tak menyurutkan niat ibunya. Dia tetap mengeluarkan semua barang itu dan menyimpannya di ruang tamu.

"Kemarin Pak Salim bilang akan membayar barang tua ini dengan harga yang lumayan. Setidaknya kita harus bersyukur karena benda ini masih bisa dijual." nada dingin terdengar begitu kentara dari mulut ibunya, Lila tak percaya ibunya bisa melakukan hal seperti itu. Apakah peninggalan dari ayahnya sama sekali tak berharga.

"Lila tak akan menyetel musik keras-keras lagi, tapi Lila mohon jangan jual barang peninggalan ayah, bu." Lila memohon sambil menggenggam lengan ibunya.

Wanita itu mendorong Lila masuk ke dalam kamar dan mengguncinya, tak perduli teriakan dan gedoran keras dari balik pintu. Dia tak akan berubah pikiran, walaupun terpaksa tapi benda itu harus dia jual demi kebaikan putrinya.

"Ibu ... Lila mohon!" teriaknya diringi isakan. Tak perduli apakah tetangga mereka mendengar, yang terpenting ibunya berubah pikiran.

Permohonan diiringi tangisan sama sekali tak membuahkan hasil, tepat pukul tujuh benda-benda itu dibawa pergi dan Lila hanya bisa pasrah. Sama sekali tak bisa berbuat apapun, dengan mata bengkak dan hati yang sakit Lila menatap ke arah jendela.

***

Lila mengemasi sebagian pakaiannya ke dalam tas, juga sebuah foto yang menunjukkan kebersamaan dengan sang ayah, ibu, juga adik perempuannya. Keluarga mereka yang dulu begitu penuh kebahagiaan ternyata harus berakhir dengan begitu mengenaskan. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan bersama adiknya yang masih berusia tujuh tahun.

Semenjak kejadian itu, kehidupan Lila dan ibunya menjadi sulit. Dengan usaha yang sangat keras, Lila belajar dengan susah payah agar bisa masuk sekolah favorit dengan beasiswa, tapi yang terjadi adalah dia harus menjalani kehidupan yang lebih berat lagi.

Masalah di sekolah Lila lampiaskan dengan menyetel musik keras-keras, rasa tertekan itu tidak hilang, tapi ada sedikit kelegaan yang dia rasakan setelahnya. Jika tidak, dia bisa benar-benar jadi gila. Lila merasa menyesal pada para tetangganya karena meresahkan. Pada ibunya, dia tak bisa menceritakan apapun, mengingat ibunya juga repot dengan pekerjaan berdagang di pasar.

Lila memilih untuk pergi tanpa meninggalkan sepucuk surat pun. Bersama sedikit uang tabungan, Lila lari dari rumah melewati jendela yang tak dikunci. Sebelum pergi, Lila sempat berbalik dan menatap rumah kecilnya penuh kesedihan.

Bu, Lila tak sanggup lagi. Mereka memperlakukanku layaknya sampah, menjadikanku lelucon dan menghinaku. Seharusnya ibu mengerti bahwa Lila mengalami masalah, tapi kenapa ibu  malah menjual benda peninggalan ayah dan menambah rasa sesak yang aneh ini semakin menguasai diri Lila. Orang-orang kaya itu hanya bisa memandang seseorang dari status, terutama lelaki itu. Dia yang memicu semua orang membenciku, dia adalah penjahat. Aku tak sanggup lagi bu, lebih baik Lila pergi. Jaga diri ibu baik-baik. Lila akan bertahan dengan cara sendiri mulai sekarang, ibu tak usah khawatir. Maafkan Lila. Batin Lila

Lila pun berbalik, dia bertekad untuk memulai hidup baru sendirian. Tak perduli jika mungkin nantinya akan jadi anak jalanan, dalam hati dia berdo'a agar kehidupannya lebih baik setelah ini.

========

Ini cerita paling gaje yang aku buat, jadi aku maklumi kalo gak ada yang niat buat baca ato sekedar ngelirik kesini.

Kali ini aku dah pasrah gak bakalan berharap dapet vote atau komen. Yang mau baca silahkan, yang cuma lewat silahkan. Aku gak bakalan protes.

Akhir-akhir ini aku lagi pusing, butuh sedikit membersihkan debu di hati :(

Kenyataan Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang