Lila 4

43 1 0
                                    

"Hei, bangun! Ini sudah pagi, kamu lupa dengan ucapanmu kemarin?"

Lila membuka mata dengan malas, semalam dia tidak tidur nyenyak jadi rasa kantuknya masih belum hilang. "Ah ya, aku hampir lupa."

Lila menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya dengan setengah hati, dia tidak ingin berjalan sendirian diluar lagi. Jika pemilik rumah mengizinkannya tinggal, Lila rela menjadi pembantu rumah tangga disana termasuk tidur dimana pun. Asalkan tidak beratapkan langit dan beralaskan tanah, itu sudah cukup.

"Apa kamu sudah membereskan barang-barangmu?" tanya Adi seperti tak sabar.

"Ya, sejak semalam aku sudah membereskan semuanya. Hanya saja..." Lila ragu untuk melanjutkan ucapannya, mana mungkin dia meminta untuk dibiarkan tetap tinggal karena mereka pasti tak akan menerimanya.

"Hanya saja?" ulang Adi tak mengerti.

Tepat saat itu, Alan keluar dari dalam kamarnya, sekilas dia menatap Lila. Ada sesuatu yang tersimpan di balik tatapannya, tapi baik Lila ataupun Adi sama sekali tak dapat menebak apa yang tengah dia pikirkan apalagi hanya dengan melihat ekspresi di wajahnya yang menurut Lila seperti teka-teki.

"Dia akan tinggal disini." ungkap Alan tiba-tiba. Kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar begitu ringan.

Keduanya jelas terkejut, mereka tak mengira akan mendengar sesuatu yang mengagetkan terlebih keluar dari mulut Alan.

"Ada apa denganmu? Dia tidak bisa tinggal bersama kita. Dia akan pergi!" seru Adi penuh keterkejutan. Dia tidak terima harus tinggal serumah dengan seorang perempuan tak dikenal, terlebih tanpa alasan yang jelas.

"Tanyakan saja pada gadis itu, apa dia memang ingin tinggal disini atau mau pergi." ujar Alan tanpa beban. Tentu saja pandangan Adi tak bisa lepas dari Lila yang semakin merasa tersudut. Jika saja Adi tahu mengenai cerita Lila tadi malam, mungkin dia akan sedikit mengerti.

"Eumm...sejujurnya aku memang berharap bisa diperbolehkan tinggal disini. Aku tahu kalian orang yang baik..." mendengar kalimat itu, Alan seakan tersentak. Entah apa yang membuat dia merasa terganggu.

"...itu sebabnya, apa boleh aku tinggal sementara waktu disini. Aku pasti akan membantu pekerjaan rumah atau apapun yang bisa kubantu. Aku tidak mau tinggal di jalanan." tanpa pikir panjang setelah mendapat kesempatan, Lila langsung mengungkapkan keinginannya.

"Hanya dua minggu, kami tidak akan menampungmu lebih dari waktu itu. Tapi, jika kamu sudah sadar dengan kesalahanmu dan ingin pergi sekarang. Itu lebih baik." ujar Alan memberitahu, dia tidak mau Lila terlalu lama tinggal karena baik dia ataupun Adi akan merasa tak nyaman. Apalagi rumah mereka hanya memiliki dua kamar dengan tempat tidur yang sama-sama hanya muat satu orang.

Lila senang mendengar keputusan Alan, dia pikir waktu yang Alan berikan sudah sangat cukup, selama itu dia akan berusaha mencari uang. Dengan cara apapun dia akan berusaha, kesempatan yang Alan berikan tidak boleh dia sia-siakan begitu saja.

"Tapi kak-" ucapan Adi terputus. Ya, karena Alan memotong ucapannya.

"Kita akan bicarakan ini nanti, cepat berangkat! Jangan sampai kamu terlambat." perintahnya.

"Tidak! Selama kakak masih mendapatkan uang dari wanita itu. Aku gak akan pernah mau pergi ke sekolah." ujar Adi keras kepala, dia mengambil jaketnya dan pergi keluar. Untuk sesaat, dia menatap tajam Lila.

Setelah kepergian Adi, hanya tersisa Alan dan Lila. Suasana diantara mereka terasa begitu canggung. Lila sendiri bingung harus melakukan apa sedangkan Alan terlihat kecewa, itu yang dia rasakan.

"Apa ini sering terjadi?" tanya Lila ragu. Alan hanya diam saja, dia justru duduk di kursi single yang berada dihadapan Lila.

"Kenapa kamu lari dari rumah?" bukan jawaban tapi pertanyaan yang justru terlontar dari mulut Alan.

Sebelum bercerita Lila seakan menata hati, semua kejadian yang hampir setahun ini dia lalui di sekolah belum pernah dia ceritakan pada siapa pun. Ada sedikit keraguan di wajahnya. Terlebih dia sungkan untuk bercerita pada orang asing, tapi mengingat Alan sudah berbaik hati menerimanya. 'Mungkin dengan bercerita sedikit perasaanku akan jadi lebih baik.' pikirnya

"Sebenarnya, masalahku berputar di sekolah, ibuku bahkan tidak tahu apapun mengenai hal ini. Disana terlalu banyak orang yang tidak menyukaiku. Setiap hari aku selalu mendapat perlakuan buruk, dari yang paling sederhana seperti cemoohan dan yang paling parah tamparan di depan umum. Uang memang berkuasa, hanya karena orangtua mereka berpengaruh, semuanya memilih bungkam seakan tak terjadi apapun." cerita Lila setengah emosi.

Uang memang berkuasa, tidak ada yang dapat memungkiri hal itu. Alan mengakui kebenaran dari ucapan Lila, karena dia mengalami hal yang sama sekalipun masalah yang dia alami agak berbeda.

"Ibumu pasti khawatir, seharusnya kamu memikirkan perasaannya. " Ujar Alan ringan. Dia yakin, Ibu Lila akan mencari putrinya.

"Aku pernah minta izin padanya untuk pindah sekolah, tapi dia melarangku. Dia memberikan beban adikku padaku. Menyekolahkan adikku ke sekolah itu adalah keinginannya sejak lama. Sayang, adikku harus pergi lebih dahulu jadi sebagai anak, aku ingin mewujudkan harapannya itu. Hal itu memang terwujud, tapi aku tidak bisa belajar dengan tenang. Aku tidak mau hidup dalam tekanan terus menerus, jadi aku memutuskan untuk pergi." cerita Lila menjelaskan.

Ponsel Alan berbunyi, melihat nama di layar dia segera mengangkatnya. Pembicaraan yang singkat pun terjadi, setelah pembicaraan itu dia beranjak dari duduknya dan berlalu keluar rumah, tak perduli akan tatapan penuh pertanyaan dari Lila. Pembicaraan mereka bahkan belum selesai, tapi dia malah pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun.

****

"Apa gadis itu masih belum masuk sekolah?" tanya seorang lelaki dengan seragam SMA-nya.

"Belum Za, udah tiga hari ini dia gak masuk. Kayanya dia sakit atau kalo engga dia nyerah buat sekolah disini." ujar teman disampingnya menjelaskan.

Lelaki bernama Eza itu terdiam, dia mengingat pertemuannya dengan Lila di daerah yang dia yakin jauh dari area rumahnya. Ransel yang dia bawa waktu itu membuat Eza merasa curiga, tapi dia tidak mau berpikir terlalu jauh. Dia tidak mau mengingat lagi bagaimana gadis itu berlari menjauhinya, dan menghilang di balik hujan.

Kenyataan Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang