Eza ikut pulang bersama Lila, mereka tiba ketika malam mulai menyapa. Pemuda itu menunggu di luar seperti yang pemilik rumah katakan. Sedang Lila sendiri perlu menyimpan tas lalu berganti pakaian sekalian mengambil peralatan makan.
Tak berapa lama, Lila keluar sembari membawa dua buah piring dan beberapa sendok. Dengan telaten, dia menyimpan piring di hadapan Eza dan dirinya. Kemudian menyusun rantang tiga tingkat itu di meja.
"Aku tidak lapar, tidak perlu repot."
"Tidak repot kok, makanan ini aku bawa dari rumahmu." Ungkap Lila diselingi senyum tipis.
Tak mau berdebat lebih, Eza mengambil nasi dan ikut makan bersama Lila dalam keheningan. Gadis itu bahkan begitu lahap menyantap bagian miliknya.
"Masakan Bi Eni enak, serasa makan di restoran." Puji Lila penuh kebahagiaan, dia memang sudah sangat rindu makanan layak makan. Semenjak ibunya bekerja di rumah keluarga Eza, dia merasa terlantar.
Eza yang telah terbiasa dengan masakan Bi Eni berpikir bahwa pujian Lila berlebihan. Namun entah mengapa, dia pun merasa masakan kali ini terasa lebih enak. Mungkinkah karena dia makan tanpa tekanan, rasa nyaman yang hilang seakan kembali hinggap dalam hidupnya. Terutama ketika dia memandang Lila yang begitu bersemangat. Meski dengan lauk ala kadarnya, terlihat sangat sederhana namun penuh kehangatan.
Makanan seenak dan semahal apa pun, jika berada dalam tekanan. Rasanya akan jadi tidak enak. Akan lebih buruk lagi jika dia berada di acara makan malam hari ini dan berada satu meja dengan seseorang yang berulang kali melukai harga dirinya.
"Malam ini seharusnya kamu makan bersama keluargamu, tapi ternyata berakhir di depan rumahku. Dugaanku, kamu sengaja menghindari sesuatu." Ucap Lila ringan tanpa memandang Eza.
Pemuda itu sempat tersentak namun memilih diam tak membalas ucapan Lila yang mendadak itu."Aku tidak minta penjelasan, tidak usah dipikirkan. Dari ekspresimu, aku sudah mengerti."
***
"Kemana Eza, apa dia tidak ikut makan bersama kami?"
"Tadi dia menelpon, katanya dia perlu mengerjakan sesuatu di rumah temannya. Mungkin dia akan pulang sedikit larut." Mama Eza menjawab cepat.
"Begitu."
Egi yang ikut menyimak pembicaraan, hanya tersenyum simpul. Dari balkon kamar, dia sempat melihat adiknya pergi bersama Lila ketika tengah menikmati pemandangan sore. Tak disangka, Eza akan beralasan seperti itu demi pergi bersama seorang gadis.
Di sisi lain, gadis yang duduk di hadapan Egi terus memperhatikannya secara terang-terangan. Hanya saja, suasana makan malam itu tak cukup menarik bagi Egi yang masih bertanya-tanya akan tindakan Eza.
Erlan yang juga ikut dalam acara makan malam itu tau bahwa ada sesuatu di balik pandangan Sania pada Egi, dan bagaimana pandangan Eza ketika bertemu muka dengan Sania. Egi hanya tidak cukup peka untuk mengerti situasi.
Erlan ingin memberi sedikit nasihat pada keduanya hari ini, tapi ternyata Eza tak ikut makan malam. Adik bungsunya memilih menghindar dari keadaan ini, cukup untuk menjaga hati dan hubungan diantara mereka.
"Kamu baik-baik saja Sania? Dari tadi kamu diam saja."
Egi seketika mengalihkan perhatian pada Sania, dia lupa bahwa ada gadis cantik di depannya. Sayang sekali, Egi tidak tertarik pada gadis yang memiliki hubungan baik dengan keluarganya, cukup Sania dia anggap sebagai adik.
"Oh, jangan-jangan dia baru saja di putusin pacarnya!" Tebak Egi asal, hingga Sania tersipu malu. Yang lain malah tertawa, terkecuali Erlan.
"Sania tidak punya pacar, mana mungkin dia di putusin, Egi." Ungkap tante Dian, mama Sania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenyataan Itu...
Teen FictionLari dari masalah adalah kesalahan. Namun dibalik kesalahan itu, Lila sadar bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki kesulitan hidup. Oranglain bahkan memiliki masalah yang lebih sulit, dengan dalih pengorbanan dia rela melakukan hal yang tabu di mat...