Lila 13

4 0 0
                                    

"Akhirnya kamu pulang juga." Egi telah menunggu Eza sejak makan malam berakhir, ada beberapa hal yang perlu dia tanyakan terutama tentang apa yang kakak tertua mereka bilang sejak beberapa jam lalu.

Duduk di luar selama itu bukanlah hal yang menyenangkan, namun dia ingin tahu lebih banyak. Tak perduli seberapa tak nyamannya dia berangin-angin hingga larut, membunuh kebosanan dengan melanjutkan main game.

Eza malas bicara, bukan urusan Egi jika dia kembali jauh setelah dia yakin acara makan malam mereka telah berakhir. Paling tidak, malam ini berlalu dengan cara yang lebih menyenangkan.

"Jika alasanmu adalah keberadaanku, aku bisa menghindari makan malam ini seperti yang kamu lakukan."

Eza berbalik tak mengerti, "kalau ingin membuatku kesal, lebih baik lain kali saja."

"Kakak bilang padaku kalau kamu suka Sania tapi ternyata dia menyukaiku. Itu yang membuatmu menghindar dariku."

Eza terdiam sesaat lalu kemudian berbalik pergi, dia pikir tak ada yang perlu dibicarakan tentang itu.

"Jadi kamu ingin aku mengganggu kenyamananmu untuk mencari jawaban! Bukan masalah. Kita bisa bersaing mendapatkan Lila jika kamu tak keberatan." Pancing Egi.

Eza berbalik merasa terganggu, "Apa urusannya dengan Lila, jika kamu ingin mengambil Sania, silahkan saja. Lila tak ada urusan denganmu."

"Karena itu, cepat katakan. Apa benar yang kakak katakan?" Tekan Egi.

"Jika benar, memang apa yang akan berubah!" Nada suara Eza mulai meninggi.

"Setidaknya aku akan bersikap lebih hati-hati." Egi justru membalas ucapan itu dengan nada rendah karena merasa bersalah.

***

Alan mendapat tugas tambahan mengirim layanan pesan antar. Orang yang biasa melakukan antaran sedang sakit, sebagai sampingan Alan seringkali menjadi pengganti.

Ketika masuk area perumahan, Alan mengenali jalan yang dia lalui. 'wanita itu' tinggal disana, di salah satu rumah yang tak dia ketahui secara pasti alamatnya.

Beberapa waktu berlalu, kendaraan terhenti tepat di rumah pemesan, dia lalu mencocokkan alamat yang ada di ponsel. Melegakan ketika mengetahui pesanan bukan datang dari 'wanita itu'.

Setelah menekan bel, Alan menunggu gerbang terbuka. Masih ada beberapa tempat yang perlu dia datangi.

Satu menit kemudian pintu bergeser, dia terkejut mendapati Lila yang menerima pesanan itu. Untuk sesaat keduanya terdiam, situasi berubah canggung dalam sekejap.

"Ini pesanan Anda," Alan memutuskan memecah keheningan dengan bersikap profesional. "Total 250.000 ribu."

Lila menerima kiriman makanan itu, lalu memberikan uang pembayaran merasa kaku. "Terima kasih. Selamat menikmati."

Alan bergerak cepat menuju motor, merasa kecewa karena sempat berharap Lila menyapa atau sekedar tersenyum padanya. Namun, gadis itu bersikap seakan mereka sama sekali tak saling mengenal.

"Kak Alan!" Panggil Lila halus. Alan seketika menoleh. "Kakak terlihat lebih baik."

Alan tersenyum cerah, setidaknya Lila masih mau menyapa meski sedikit kaku. Dengan perasaan lega, dia mulai menyalakan mesin motor. "Ini rumahmu?"

"Bukan."

Sejenak hening, Alan tak berani menanyakan lebih jauh. "Aku harus pergi."

Motor pun melaju tanpa kejelasan diantara mereka. Lila sendiri malah terpaku memandang motor yang Alan kendarai hingga menghilang di ujung gang. Beberapa detik setelahnya, dia merasa menyesal karena tak menanyakan nomor ponsel.

***

Kiriman yang dia bawa telah tersimpan rapi di meja, Alan menghampiri lalu membukanya. Tadi pemuda itu memintanya turun, mengambilkan kiriman yang baru datang karena tiba-tiba ingin ke kamar kecil.

"Duduk, kita makan sama-sama!"

"Aku masih harus membantu ibu, lain kali saja. Makasih tawarannya." Alan tak terima penolakan, dalam waktu singkat Lila terduduk di sofa karena tarikan mendadak.

"Jangan sungkan."

Mau tidak mau, Lila ikut makan juga. Hingga sebuah ide terlintas tanpa di duga. "Makanan ini enak, dari mana kamu membelinya?"

"Lewat aplikasi." Jawab Eza enteng ketika bagian miliknya menyusul Lila yang sudah tandas sejak beberapa menit lalu.

"Kalau datang ke tempat langsung, apa jauh?"

Eza membuka ponsel untuk mengecek alamat restoran, tanpa menyadari maksud Lila menanyakan itu. "Tidak terlalu jauh, mungkin sekali naik kendaraan umum dari rumahku. Kalau mau kesana, biar kuantar. Aku belum pernah ke tempatnya langsung."

Lila mengintip mencoba menyimpan alamat itu dalam memorinya, Eza dengan senang hati menyodorkan ponsel agar Lila dapat melihat dengan jelas. Raut senang mulai muncul perlahan, meski tak kentara.

Egi muncul melihat sisa kotak bekas mereka makan, tak berani bertanya. Ya, semenjak kejadian beberapa hari lalu mereka mulai menjaga jarak. Bukan dia, tapi Eza. Anak itu terus menghindarinya. Padahal dia selalu berusaha bersikap senormal mungkin.

Lila membereskan sampah yang harus di buang, sekalian dia ke belakang. Kemunculan Egi membuatnya menyapa tanpa menyadari betapa tegang situasi mereka.

"Kamu datang hari ini?" Egi mengambil remote lalu duduk ikut duduk d sofa bersebrangan dengan Eza.

"Ya, kalo libur aja kak. Bantu ibu kalau perlu bantuan, sekalian minta bimbingan belajar gratis dari Eza."

Eza tersenyum simpul merasa tersanjung.

"Oh. Kalau dapet bimbingan belajar dariku, dijamin langsung pintar. Kamu bisa mengerjakan sepuluh soal matematika dalam 20 detik." Egi mulai membanggakan diri diiringi gayanya yang konyol.

Eza mendecak tak percaya, diantara mereka bertiga Egi justru yang terburuk dalam urusan nilai pelajaran. Mana bisa Lila diajari olehnya.

"Tidak usah. Keluarga kalian sudah terlalu baik membantu, aku sangat bersyukur berada di sini. Setumpuk ucapan terima kasih, rasanya tak cukup untuk kebaikan kalian selama ini. Terutama setelah kejadian waktu itu."

"Selama pergi dari rumah, kamu menghilang selama beberapa hari. Dimana kamu tinggal?"

Lila terdiam, dia tak menyangka pertanyaan ini akan muncul. Ibu bahkan belum pernah diberitahu tentang apa yang terjadi. Mana mungkin, dia mengatakan bahwa selama menghilang, dia tinggal di rumah dua orang pemuda tak dikenal tanpa seorang wanita pun di rumah itu. Meski mereka baik dan tak terjadi hal buruk padanya. "kamu tidak punya teman dekat kan, di sekolah?"

Lila merasa tak nyaman, kebingungan sekaligus takut. Pandangan Egi yang tak putus darinya justru semakin membuat gugup.

"Jangan paksa dia." Interupsi Egi.

"Aku tidak memaksa, hanya bertanya."

Tak ingin memperpanjang masalah, Egi menyalakan televisi, seakan mencari tayangan untuk ditonton.


###

22 Mei 2019, Rabu




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kenyataan Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang