Alan sudah berpakaian rapi, sesuai janji dia akan pergi. Adi memberi isyarat pada Lila yang duduk tak jauh darinya untuk bersiap, Lila mengiyakan dengan isyarat mata. Dia berjalan menuju dapur, karena dia harus keluar terlebih dahulu lewat sana.
"Mau pergi kemana, kak?" tanya Adi dingin, Alan sempat melirik kepergian Lila tapi dia memilih tak perduli.
"Ada urusan." jawab Alan singkat. Sengaja dia menghampiri Adi lalu menyimpan amplop putih pemberian ibu tirinya di meja. "Uang itu untuk sekolahmu. Gunakan dengan baik, kakak mengambil sebagian untuk keperluan sehari-hari kita. Tolong jangan kecewakan ibumu, dia yang telah melahirkan dan merawatmu. Hormatlah sedikit padanya!"
"Aku tidak akan pernah mau menghormati wanita yang menjual anak yang dia besarkan untuk kepentingannya sendiri. Dan aku lebih benci lagi pada orang yang tidak memiliki pendirian." ujar Adi sinis, dia tidak perduli dengan uang yang tersimpan di meja. Bahkan untuk sekedar melihat saja dia sudah sangat muak, apalagi menggunakannya.
Alan terpaku, Adi telah masuk ke dalam kamar sedangkan dia sendiri hanya bisa memandang uang di meja dengan nanar. Dia masih ingat pertengkaran sengit antara dirinya dan Adi tepat setelah pertemuan tak sengaja mereka di salah satu mall, bersama seorang wanita paruh baya. Adi terus menerus mempertanyakan siapa wanita itu, hingga Alan terpaksa berkata jujur.
'Dia adalah teman ibu, dengan menemaninya jalan-jalan aku mendapatkan uang.' ungkap Alan.
'Apa! Jadi selama ini kakak berbohong padaku, kakak bilang tak akan melakukan pekerjaan kotor semacam itu, tapi ternyata kakak malah melakukannya. Jadi, uang yang selama ini kugunakan untuk sekolah dan makan adalah hasil dari ..." Adi tak berani melanjutkan ucapannya, dia memilih pergi.
Sejak saat itulah, sikap Adi mulai berubah. Dia jadi malas berangkat sekolah, dan hanya pulang setelah malam. Bagi Adi, ibunya adalah penyihir jahat yang mementingkan diri sendiri.
Alan tidak ingin terus menerus larut dalam kesedihan, dia harus meyakinkan diri untuk pergi. Ya, dia hampir lupa untuk segera pergi. Lila sudah menunggu di luar hampir 20 menit, apalagi hujan gerimis mulai turun. Dia lupa meminjam jaket Adi tadi, dia sudah terlanjur lupa jadi lebih baik dia segera mengikuti Alan yang sudah berjalan dengan cepat menuju arah jalan raya.
Lila memilih mengikuti Alan dengan ojek, Adi yang memberinya uang. Berbeda dengan Lila, Alan memasuki mobil ibu tirinya. Mereka bisa duduk nyaman tanpa kehujanan, tapi Lila malah jadi makin basah di malam hari yang dingin. 'Apakah aku harus selalu ditakdirkan kehujanan. Mengesalkan!' gerutu Lila setelah sampai di tempat tujuan.
Lila kebingungan saat melihat mobil yang Alan naiki memasuki rumah berpagar tinggi, dia bingung bagaimana cara memasuki rumah itu tanpa harus lewat pintu depan. Dia mencoba mengintari tembok pagar dan dia menemukan jalan yang langsung menembus ke halaman belakang. Sayangnya, pintu itu terkunci.
'Ah, sudah sedekat ini. Masa aku harus kembali tanpa hasil apapun!' kembali Lila menggerutu.
Lila terpaksa harus lewat depan, dia akan meminta izin layaknya tamu. Tentu saja, Lila yakin kalau dirinya akan diusir tanpa butuh penjelasan. Bel dia dibunyikan, dan gerbang pun sedikit terbuka. Seorang satpam dengan seragam putihnya menghampiri Lila yang mulai merasa kedinginan.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam itu ramah. Dengan ragu, Lila berkata kalau dirinya ada keperluan dengan Alan, satpam itu terlihat tak mengerti. Itu artinya, dia tak mengenal siapa Alan.
"Saya tidak mengenal nama Alan, dirumah ini tak ada seorang pun yang bernama Alan. Mungkin Anda salah orang." jawab satpam itu, dia sudah berniat menutup gerbang jika Lila tidak menahannya.
"Kalau begitu, bisakah saya ikut berteduh sebentar. Hujan mulai deras dan hari sudah semakin gelap. Tolong, beri saya tempat untuk berteduh hingga hujan agak reda." alasan yang masuk akal tapi satpam itu terlihat ragu, namun karena kasihan dia memperbolehkan Lila masuk.
"Terima kasih," dalam hati, Lila bersorak kegirangan karena akhirnya dia bisa juga memasuki pagar lewat depan, walaupun kemungkinan untuk bisa masuk ke dalam rumah cukup kecil.
Lila mengikuti satpam itu masuk, dia kagum dengan halaman yang luas dan taman yang terawat di hadapannya. Pemilik rumah ternyata orang yang kaya raya, itu yang Lila pikirkan dalam hati.
Sepuluh menit berlalu, Lila masih duduk di pos satpam. Dia tidak punya alasan yang tepat untuk bisa masuk ke dalam rumah, angin dingin malah membuatnya ingin ke kamar kecil.
"Pak, apa di pos ini ada toiletnya?" tanya Lila. Satpam itu berkata kalau tidak ada toilet di pos satpam, dia selalu pergi ke toilet yang ada di dapur. Satpam itu berbaik hati mengantar Lila kesana sedangkan dirinya menunggu di depan pintu dapur.
Mendapat kesempatan, setelah urusannya selesai dia menyelinap masuk. Dia harus bertemu Alan dan merusak acaranya, itu yang Lila pikirkan. Dia sendiri penasaran, acara apa yang tengah Alan hadiri. Kenapa tidak terlihat banyak orang di tempat itu.
Lila tidak menyangka kalau rumah itu sangat luas, dimana dia bisa menemukan Alan. Hampir saja dia putus asa, namun setelah mendengar suara tawa seorang wanita, Lila jadi tertarik ke arah sumber suara. Suara itu terdengar beberapa kali hingga tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan tempat yang dia tuju.
Pintu tertutup, Lila tidak ingin membuat masalah dengan membuka pintu tiba-tiba. Mungkin disana acara itu tengah diadakan, membuka pintu secara perlahan adalah pilihan terbaik yang bisa dia pikirkan.
Perlahan Lila membuka pintu, dia sangat amat terkejut saat melihat apa yang tengah terjadi di ruangan itu. Dia bahkan lupa untuk memegang kenop pintu hingga terbuka dengan sempurna. Lila sampai tak bisa menggerakan satu pun anggota badannya karena terlalu terkejut sekaligus tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenyataan Itu...
Teen FictionLari dari masalah adalah kesalahan. Namun dibalik kesalahan itu, Lila sadar bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki kesulitan hidup. Oranglain bahkan memiliki masalah yang lebih sulit, dengan dalih pengorbanan dia rela melakukan hal yang tabu di mat...