Lila 11

24 0 0
                                    

Siang ini, sepulang sekolah. Lila langsung pergi menuju rumah Eza. Dia masih sangat ingat bahwa lingkungan tempat tinggal Eza adalah tempat yang pernah dia dan Alan datangi beberapa waktu lalu.

Karena gelap, Lila tak dapat membedakan setiap rumah. Jadi dia tak dapat memastikan rumah mana yang dimasukinya saat itu, dan Lila menyesalkan kelambatan otaknya dalam mengingat. Harapan yang Lila panjatkan, semoga tak bertemu dengan wanita tak tahu malu itu lagi. Meski dalam hati dia ingin berjumpa dengan Alan.

Sekarang, Lila masih menyusuri jalan memastikan nomor rumah yang telah di lewati. Eza sempat memberitahu kalau rumahnya bernomor 07.  Dari yang terlihat, mungkin lewat dua rumah lagi maka dia akan sampai. Tak disangka, rumahnya cukup jauh dari jalan utama hingga dia perlu berjalan lama di tengah hari yang untungnya tengah mendung.

Langkah Lila terhenti ketika melihat Eza berdiri bersandar pada tembok pagar sembari memainkan ponsel. Lila menduga, pemuda itu tengah main game, update status atau melakukan selfie.

Atau...menunggu seseorang.

Eza menoleh ke arah Lila, sedetik kemudian senyuman menghias wajahnya.

"Aku cemas kamu akan salah alamat, ternyata tidak. Baguslah. Ayo masuk!" Eza seketika merangkul punggung Lila memasuki rumah, tanpa perduli ekspresi tak nyaman yang gadis itu tunjukkan.

Di dalam rumah, duduk dua orang laki-laki yang Lila kira lebih tua beberapa tahun dari Eza. Tanpa banyak protes, dia ikut duduk bersebelahan dengan  Eza tepat di hadapan kedua laki-laki asing itu.

"Kenalkan, mereka kakakku. Yang pakai kemeja hitam itu kakak tertua, namanya Erlan," pemuda itu memberikan senyum tipis tanpa kata, "dan, yang memakai kaus merah itu kakak kedua. Namanya Egi. Kami seperti tiga serangkai, bukan!"

Eza langsung duduk di samping kedua kakaknya penuh antusias. Egi terlihat menahan tawa, entah apa yang lucu.

Lila tersenyum sopan, "Aku Lila."

"Kak Erlan sudah menikah, kebetulan hari ini dia berkunjung," Lila memperhatikan sekilas penampilan Erlan yang memang terlihat lebih dewasa, namun minim ekspresi.

"Aku masih lajang, kalau tertarik kamu boleh daftar tanpa seleksi." potong Egi cepat. Erlan tiba-tiba berdehem, sedang Eza terlihat masam.

"Kamu sudah punya pacar?" kembali Egi menggoda, bagi Lila itu lebih terlihat sebagai candaan untuk mengakrabkan diri. Karena tak tahu mesti bersikap seperti apa, Lila kembali tersenyum.

"Boleh aku menemui ibuku sekarang?" Lila sangat canggung duduk bersama mereka, dan lagi, niatnya datang bukanlah untuk mengobrol.

Eza berdiri, "Ayo, ikut aku!"

Lila ikut beranjak mengikuti langkah Eza, hingga Egi memanggil. "Aku tidak bercanda soal tawaranku tadi! Benar-benar tanpa seleksi!"

Mau tidak mau Lila merasa geli juga, tingkah kakak kedua Eza itu sangatlah konyol. Dia mengelompokkan Egi sebagai tipe pembuai hati perempuan namun meremukkannya kemudian. Lila perlu menjaga hati agar tetap berada dalam koridor aman.

"Jangan dengarkan kakakku, pacarnya banyak!" nasihat Eza datar.

"Aku tahu."

****

Seminggu berlalu, ibu Lila kerasan tinggal di rumah Eza. Dia tidak pernah pulang ke rumah karena pekerjaan, sedang Lila tinggal dan mengurus diri sendiri. Lama kelamaan, Lila merasa frustasi harus makan menu monoton ala kadarnya, dengan rasa yang memuakkan.

Setelah berpikir matang, Lila memutuskan untuk berkunjung. Dia tahu, bahwa peluang bertemu Eza tidak besar karena pemuda itu jarang pulang cepat. Itulah yang dia inginkan.

Cukup ketika di sekolah saja Eza merecokinya, dari mulai masuk kelas, istirahat hingga jam pulang. Katanya dia akan menepati janji, dengan melindungi Lila setiap saat. Cara itu memang berhasil, kejahilan mereka seakan terhenti.

Sampai dapur, Lila membantu ibunya mencuci piring untuk makan malam. Rekan kerja ayah Eza bersama keluarganya akan berkunjung malam ini.

"Acara makan malam ya, bu! Seperti apa itu? Pasti makanannya enak-enak. Kalau ada sisa, bungkusin dong buat aku makan di rumah." bisik Lila pada ibunya sembari lirik kanan kiri, takut pembantu lain yang tengah masak ikut mendengar ide tak terpujinya.

Ibu Lila seketika mendelik, "Malu-maluin, nanti kalau libur ibu masakin kamu."

"Kapan? Pasti masih lama." Lila langsung cemberut, aroma masakan yang tercium membuatnya tak berdaya. Ibunya keterlaluan.

Pembantu lain tak sengaja mendengar pembicaraan itu tersenyum geli. Tanpa sepengetahuan mereka, dia menyisihkan sedikit masakan yang baru matang ke dalam rantang plastik.

Jam telah menunjuk angka lima, Lila bermaksud pulang setelah pamit pada ibunya dan pemilik rumah, alias ayah Eza. Tepat di depan pagar, pembantu tadi yang mungkin seusia ibu Lila memberikan rantang kuning yang sempat di isi tadi.

"Ini bukan makanan sisa, tapi kelebihan. Habiskan, ya!"

Lila sangat antusias, penuh rasa terima kasih dia menerima makanan itu. "Lain kali, kalau kamu mau makanan bilang saja sama bibi."

Sekembalinya bibi bernama Enih itu, Lila menyapa satpam yang membukakan pintu, lalu keluar penuh senyuman. Sampai kemudian, dia berpapasan dengan mobil Eza yang tengah menunggu pagar di buka.

Lila menoleh sekilas, namun karena tak terlihat apa pun, dia memilih melanjutkan langkah. Hingga panggilan Eza membuatnya berbalik. Pemuda itu berlari mengejar, meninggalkan mesin mobil yang masih menyala di depan pagar.

"Kamu mau pulang?" Eza masih menunduk bertumpu pada lutut dengan napas terengah. "Iya, sudah sore. Ada apa?"

Eza menegakkan badan, "Boleh aku ikut?"

Lila menimbang untuk sesaat, sampai kemudian mengiyakan setelah melirik rantang berisi makanan yang baru dia dapat, sekaligus ekspresi memelas penuh pengharapan pada wajah Eza.

****

Beberapa hari belakangan, Alan telah mencari pekerjaan ke beberapa tempat. Usaha yang dia lakukan membuahkan hasil, ketika salah satu restoran menerimanya sebagai pelayan merangkap tukang cuci piring.

Kurang dari seminggu bekerja, banyak pelanggan perempuan yang tertarik padanya, tanpa lelaki itu sadari.

Gajinya lumayan, meski melelahkan. Saat pulang, dia akan tertidur dalam keadaan tubuh seakan remuk. Dengan tekad kuat, dia akan mengumpulkan uang dan melanjutkan pendidikan. Lalu mengucapkan terima kasih pada Lila yang telah ikut menyandarkan dirinya bahwa selama ini dia bukan tengah berbakti, namun menjerumuskan diri sendiri.

Dalam hati, dia meyakini kalau mereka akan kembali bertemu. Dan, apabila saat itu tiba, setidaknya Alan bisa berdiri tegak penuh percaya diri.

(((())))


Senang bisa kembali menulis di sini, rasanya hampa tanpa menulis. XD

Banyak hal yang telah terjadi dan setelah kutimbang lagi, aku memutuskan kembali untuk menghibur diriku sendiri yang sedang penat dengan masalah di rumah. Memang benar, semakin tua usiamu semakin banyak masalahmu. Semakin banyak masalah semakin sulit pula kita berpikir positif.

Hidup ini ujian, bukan!

Update Semaunya...
Selasa, 25 April 2017

Kenyataan Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang