W _ 8

322 15 0
                                    

"Bila esok kita bertemu kembali, aku ingin kita tetap bercanda lagi"

Pandangan Rafael menuju rel kereta yang ada di depan. Tak luput jam tangan di tangan kiri menjadi sasaran pengalihan. Waktu menunjukkan pukul 19.45. Kereta eksekutif dengan tujuan Semarang akan tiba 15 menit lagi.

"Kamu bicara apa sih, Raf?" tanya Enzy.

"Jangan memperlihatkan wajah yang ditekuk berlipat-lipat" sahut Rafael sambil tersenyum.

"Kenapa kamu bicara seperti itu sih?" Enzy kembali mengulang pertanyaannya. Wajahnya sudah menampakkan raut kebingungan.

"Firasatku mengatakan kita akan bertemu dengan suasana berbeda dan-"

"Husstt!! Jangan bicara seperti itu. Aku disini menunggumu dengan beribu-ribu rindu" Jari telunjuk kanan Enzy menempel di bibir Rafael. Otomatis memotong pembicaraan Rafael.

"Aku juga akan menabung rindu untukmu. Rindu ini masih milikmu" ucap Rafael setelah melepas jari telunjuk Enzy. Enzy tersenyum mendengar ucapan Rafael.

"Minggu malam baru sampe Jakarta ya?" tanya Enzy.

"Iya. Kenapa?" ucap Rafael.

"Aku akan menunggu kamu, Raf" sahut Enzy.

"Kalau ingin pergi jangan lupa untuk memberitahu aku. Pergi bersama siapapun itu termasuk mantan kamu jika dia telah tiba di Jakarta." ucap Rafael.

Deg!

Hati Enzy seketika seperti tertusuk jarum. Enzy hanya tersenyum pahit.

"Aku menunggu jawaban kamu, Zy" kata Rafael.

"Iya" lirih Enzy. Rafael membelai kepala Enzy perlahan.

"Aku terlalu sering mengecewakan kamu, Raf. Maafkan aku" batin Enzy.

"Aku bagai melihat cermin yang berdebu. Apa ini hanya firasatku?" batin Rafael. Rafael menatap Enzy dengan sendu. Enzy menundukkan kepala dengan bermacam-macam pikiran yang menggelayuti.

"Apakah kamu akan bertahan seiring dengan berjalannya waktu?" pikir Enzy.

Tess..

"Kenapa menangis? Heem. Aku cuma dua hari pergi, bukan selamanya" sahut Rafael sambil menghapus linangan air mata di pelupuk mata Enzy.

"Aku enggak suka mendengar itu" Enzy menatap Rafael.

"Kalo gitu jangan menangis. Kamu cengeng ya" Rafael terkekeh.

"Aduhh!!" sahut Rafael saat terasa cubitan di perutnya.

"Jangan menggodaku lagi, Raf" kata Enzy.

"Wajah kamu lucu. Bagaimana aku dapat berhenti untuk tidak menggoda kamu?" Rafael mencubit pipi Enzy.

"Aku pergi dua hari saja kamu menangis ataukah ada alasan selain itu? Hemm" tanya Rafael.

Pertanyaan yang tepat sasaran bagi Enzy. Enzy hanya menggeleng tanpa mengeluarkan satu kata.

"Jaga diri kamu ya, Zy" ucap Rafael.

"Seharusnya aku yang mengucapkan itu, Raf" bantah Enzy.

"Kalau gitu, jaga hati kamu karena aku menitipkan setengah hatiku dalam hatimu." Rafael memeluk dan membelai perlahan rambut Enzy. Seketika air mata Enzy kembali mengalir. Enzy segera menghapusnya agar Rafael tak mengetahuinya.

"Aku pergi dulu ya" Rafael mencium kening Enzy.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Rafael pun perlahan menghilang di antara gerbong kereta.

"Kamu terlalu baik, Raf. Aku takut tidak bisa mengikuti kebaikanmu. Maafkan aku jika aku tak bisa menjaga hatimu. Tuhan, aku menyayangi keduanya" lirih Enzy

*****

Di dalam kereta, Rafael memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Hitam. Hanya pemandangan itu sepanjang perjalanan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00pm. Dia kembali menyentuh dan menekan tombol di ponselnya. Membaca berulang-ulang pesan yang ada di kotak masuk.

To: Rafael
From: Audi
Siapkan dompetmu, kakakku yang tampan. Oh ya siapkan tuh jantung biar gak syok!

To: Audi
From: Rafael
Mana buktinya?

To: Rafael
From: Audi
Tunggu sebentar. Gak sabaran amat nich!

To: Audi
From: Rafael
Cerewet!!

To: Rafael
From: Audi
Gambar diterima

Kedua alis Rafael bertaut seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Syok!

"Afra.." lirih Rafael.

Ponsel yang berada di tangan kini kembali diletakkan di samping meja. Perasaan yang bercampur aduk kini yang dia rasa, ditambah dengan pesan yang diterima dari Audi.

From: Audi
To: Rafael
Terkadang yang digenggam erat akan terlepas. Jika dia ingin bebas, berikanlah kebebasan.
Berjuang itu berdua bukan sendiri. Emang mau ujian nasional?

Rafael menyandarkan kepala di sandaran tempat duduk. Mulai memejamkan mata untuk menetralkan segala perasaan yang bercampur aduk.

"Siapkah harus memilih? Siapkah harus dipilih? Siapkah untuk menerima segala keputusan? Bukankah suka atau tidak kita harus siap menerima kenyataan?" pikir Rafael.

WALK [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang