The Last Revolver

197 6 2
                                    

Tangannya memegang sebuah revolver dengan jari yang gemetaran bersandar pada pelatuknya. Air matanya terus berhamburan keluar sambil dirinya mencoba menarik pelatuk senjata di tangannya. Mulut senjata terarah kepada seorang pemuda berprofesi polisi dan juga memiliki hubungan sebagai kekasih si pembunuh hijau.

Dia sendiri belum mengerti bagaimana akhirnya bisa begini. Pada awalnya tak ada yang berpikir ini adalah akhir. Benar, pada awalnya tugasnya ini seharusnya berjalan seperti misi penghapusan yang biasa. Tanpa tangisan, tanpa air mata, tanpa 'selamat tinggal'.

Semua berawal dari sepucuk surat dengan kado. Kado berwarna abu-abu dan diikat dengan pita merah. Pita merah semerah darah. Saat dia membuka tutup kardos kado tersebut dia mendesah.

'Perintah pembunuhan lagi.' Pikirnya dengan lelah. Selalu perintah penghapusan. Entah sudah yang ke-berapa perintah diberikan dan dia berharap sekali saja, orang yang mengirimkannya surat-surat perintah itu mengganti isi suratnya. Tapi satu-satunya yang berbeda kali ini adalah benda yang disertakan bersama surat. Yang tertidur di dalam kardus kado tersebut adalah sebuah revolver dengan peluru berjumlah enam di sampingnya.

Hari itu adalah hari akhir musim dingin.

Pada pagi hari ia pergi berdiam di bawah pohon bunga sakura. Sakura yang langsung menyambut hari pertama musim semi dengan mekarnya daun-daun merah muda. Memandang setiap orang yang lewat sambil memperhatikan wajah mereka, mencoba mencocokan dengan wajah dalam surat yang diterima.

Dia mendesah. Setiap orang yang lewat dipandang denga teliti tapi tak ada yang cocok. Si gadis kemudian beristirahat dengan bersandar di pohon sakura. Daunan merah muda yang melambai terlihat sangat indah saat dilihat dari bawah pohonnya. Terlena dengan keindahan pohon, dia tidak menyadari kedatangan seorang pemuda yang sekarang melambaikan tangan di depan wajahnya.

"Halo~" Si pemuda berusaha mendapatkan perhatian sang gadis. Saat gadis itu menengok ke arah kanan tempat pemuda itu berdiri, dia tersentak terkejut.

Sang pemuda tertawa kecil, "Kau tak apa?"

"Memangnya ada yang salah?" Tanya si gadis dengan nada cuek. Dia memperhatikan baju merah dengan celana panjang berwarna biru yang membuat dia terkesan kasual.

Si pemuda tersenyum. "Tidak, hanya saja sekarang masih awal musim semi dan udara masih dingin. Tapi bajumu terbuka di bagian bahu dan rokmu termasuk pendek. Apa kau tak kedinginan?"

"Bukan urusanmu." Jawab sang gadis sambil berjalan menjauh. Dia berhenti saat dia merasakan sebuah kain lembut melingkari bagian lehernya dan kemudian terayun di angin. Si gadis berbalik belakang dan melihat sang pemuda tersenyum lebar ke arahnya.

"Kembalikan saja besok!" Dan pemuda tersebut langsung berjalan pergi. Ke arah berlawanan dari si gadis.

Dia berkali-kali menatap selendang yang melingkari lehernya dengan lembut. Dan kemudian pandangannya beralih ke arah si pemuda pergi.

'Padahal kau akan mati.'

Esoknya dia datang lagi. Selendang berwarna hijau melingkari lehernya dengan lembut dan selendang berwarna abu-abu tergantung di tangan kanannya. Seperti kemarin, dia memerhatikan setiap orang yang lewat. Mungkin karena itu, dia kaget saat melihat warna abu-abu yang mendekatinya.

"Kau datang." Suara si polisi. Saat itulah si gadis memandang wajah dan menyadari bahwa yang berdiri di depannya adalah si pemuda kemarin. Bedanya, kali ini dia menggunakan baju abu-abu dengan sebuah katana terselip di ikat pinggang.

Si gadis mengambil selendang yang dipakaikan kemarin dan memberikannya. Pemuda itu tersenyum lembut dan mengambilnya.

"Terima kasih." Jawab keduanya hampir bersamaan. Mereka berdua saling memandang, si pemuda tersenyum ke arahnya dan si gadis tersipu.

Vocaloid Song-ficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang