"Tempat ini busuk!" eluh seorang anak laki-laki. "Bau gas di sana sini, tak boleh ini-itu, harus melakukan ini-itu, mengikat kita seakan kita virus bagi bumi. Dinding di sini juga dingin dan karena sangat tinggi, kita tak bisa melihat keluar. Mereka pikir kita apa? Pokoknya aku tak mau tinggal di sini selamanya. Kau dengar? Ta-k-ma-u."
Temannya hanya tertawa kaku seraya melihatnya mengeluh tanpa henti, berjalan berputar dan menghentakkan kakinya keras-keras ke lantai beton. Dilihatnya air mata hampir keluar dari ujung matanya. Teman itu memiringkan kepalanya, hingga akhirnya ia menyadari kalau air mata itu hanya karena temannya menyesal telah menyakiti kakinya sendiri.
Temannya berdiri lebih tegap, menghentakkan kaki sekali lagi, dan menyesalinya kembali. "Dengar Kirari, suatu hari nanti, aku akan keluar dari tempat ini. Tak peduli bagaimana, pokoknya aku akan keluar. Satu hari nanti, aku akan berada di sisi lain dinding raksasa ini. Aku akan bebas, bisa melihat dunia luar, melihat tanah berumput atau apapun mereka menyebutnya, dan kau akan membantuku," cetusnya, jari telunjuknya terarah pasti pada Kirari.
Namun Kirari tetap menunduk tak bersemangat. Dia menenggelamkan wajahnya ke tengah kaki terlipatnya, berusaha menyembunyikan wajah. Jari-jari kering kurusnya terjalin memeluk kakinya ke atas hingga menyentuh dada. Bola mata hijaunya terlihat seperti mata orang mati, kosong dan pasrah. Seumur hidupnya ia berada di dalam tempat itu, menghirup bau gas yang berputar-putar tanpa pasti di udara, kadang-kadang hilang, lalu akan muncul tiba-tiba tanpa tanda ataupun peringatan. Dia pernah mencoba melarikan diri, tapi ketahuan dan tertangkap. Ia meronta dalam ikatan tali, mulutnya tersumpal kain kotor yang bau hingga para penjaga selesai menggores kulit betis kecilnya dengan pisau. Ia tak berani melawan setelah itu.
"Apa gunanya dunia luar?" tanyanya lemah. "Setidaknya di sini kau dapat hidup. Makanan diberikan dua kali sehari, minuman diberi empat kali sehari, kita diberi baju baru tiap minggu. Asal kita mengikuti aturan mereka, mereka tak akan melukai kita. Asalkan kita tak memberontak, kita akan tetap hidup, Sukoitsu."
Sukoitsu menggaruk kepalanya. Dia memasang senyum lebar dan jahil. Giginya kentara diantara bibir, mata merahnya berkilat. "Kau akan mendapat banyak hal yang tak dapat kau temukan di sini: kasih sayang dan kehangatan."
"Tapi teman harus saling menyayangi," bersut Kirari.
Bibir Sukoitsu melebar lagi, seperti senyum kucing Casshire. "Daripada kasih sayang, aku menanam sesuatu yang bisa didapat di mana saja, sesuatu yang tumbuh tanpa peringatan ke dalammu. 'Sesuatu' ini bisa berbahaya, bisa juga menjadi berkah. Apa kau tahu 'sesuatu' yang kumaksud?"
Kirari menggeleng, tak mengerti kalimat-kalimat sulit yang digunakan Sukoitsu. Setahunya, tubuh manusia tak akan bisa digunakan sebagai pot bunga untuk menumbuhkan tanaman jenis apapun. Juga, Sukoitsu tak pernah dan tak akan pernah bisa menanam biji bunga apapun ke dalamnya. Dia melihat-lihat tubuhnya untuk berjaga-jaga. Dari atas sampai bawah tak ada tanda-tanda adanya tumbuhan akan tumbuh menerobos kulitnya.
"Kau sedang apa?" tanya Sukoitsu.
"Kau bohong. Tak ada apapun yang tertanam dalamku!"
Mereka hening.
Sukoitsu tertawa sangat keras, dia memegang perutnya yang terasa keram. Ia berguling-guling dilantai sambil berusaha menghentikan tawanya yang meledak. Air mata menetes dari ujung matanya, kali ini karena perutnya terasa sakit tertawa.
"Kau lucu, kau tahu itu?" Sukoitsu menyeka mata, tawanya mereda. "Sesuatu yang tumbuh dari dalam dirimu sendiri, walaupun dapat datang dari orang lain. Kalau kau tak menjaganya, maka hal itu dapat menghancurkanmu." Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Kirari. "Harapan."
Teriakan menggema dari lantai bawah, bersamaan dengan bunyi keras sebuah tembakan. Dari tempat keduanya berdiri, mereka melihat gerombolan orang berlari menjauhi penjaga-penjaga dengan seragam hitam yang mengejar. Kedua anak itu berdiri, berusaha tak terbawa arus ombak manusia kepanikan. Kirari membelalak saat seorang penjaga maju ke depan. Seperti yang lain, matanya tertutup kain robek yang membentuk garis lurus di tengah, tapi miliknya berwarna oranye, sedang yang lain berwarna hitam. Dia mengenakan jubah hitam yang tak digunakan penjaga lainnya sebagai penanda bahwa ia lebih superior.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vocaloid Song-fic
FanfictionHanya cerita pendek yang tiba-tiba muncul dalam kepalaku, berdasarkan lagu-lagu Vocaloid