Walau dunia melawanmu. Walau semuanya menarik pedang ke lehermu. Aku akan di sana, di sampingmu. Menjagamu dari orang-orang yang ingin melukai dan membunuhmu...
***
Sekali lagi aku menghadap langit dan membuang nafas lelah. Sambil menyapu koridor istana aku harus merencanakan makan malam untuk Yang Mulia. Sekitar satu jam berikutnya adalah waktu untuk cemilannya. Aku harus menyediakan semuanya sebelum ia "meledak".
Yang Mulia tak memiliki kontrol pada amarahnya. Jika ia marah, ia bisa langsung memenggal kepala pelaku yang membuatnya marah.
Lonceng berdentang untuk kedua kalinya, menandakan sudah waktunya untuk menyiapkan cemilan bagi Yang Mulia.
Sesekali aku memperhatikan taman bunga penuh dengan kelopak berwarna kuning dan merah. Pemandangan ini terus menemaniku sejak aku pertama datang. Walau memang warna bunga di taman itu berubah-ubah, tapi mereka memiliki kemiripan: tak pernah hanya ada satu warna dan warna dominan selalu kuning.
Sampai sekarang aku masih ingat saat-saat pertama kali aku berlutut di depannya.
Jauh dari harapanku. Dalam kepalaku, kami berdua akan saling menatap hingga terasa sudah beberapa menit walau hanya beberapa detik. Aku pikir kami berdua akan sangat merindukan hingga kami akan berlari ke dalam tangan satu sama lain, berpelukan sambil tertawa dan menangis.
Namun ternyata hanya aku yang merasa rindu.
Sebuah kebohongan jika aku bilang aku hanya sedikit terguncang. Saat itu aku merasa seakan ingin meneriakan semua yang aku tahu, meneriakan kerinduanku hingga dia juga merasa hal yang sama. Semua kata-kataku sudah berada di tenggorokanku, tertahan oleh tatapannya.
Dia berubah drastis. Dulu waktu kami masih anak-anak, kami akan berada di dalam kamar, jauh dari jarak dengar orang dewasa, dan kami akan mengkritik mereka habis-habisan. Aku adalah satu-satunya teman bermainnya, bahkan mungkin satu-satunya yang dapat dia sebut keluarga. Bagaimanapun aku kembarannya. Walau tak ada seorang pun yang menyayangi kami, kami tetap dapat mengandalkan satu sama lain.
"Ah, Len! Ini kue untuk Yang Mulia."
Aku tersenyum. "Terima kasih."
Sebelum diberikan pada Yang Mulia, pasti ada seseorang yang mencicipinya dahulu walau kata mereka Rin tak akan meninggal karena keracunan (patung tak bisa merasa sakit dan berteriak, namun jika bisa aku akan tahu apa dia lama-kelamaan tak akan lagi merasa sakit setelah kutebas berkali-kali, seperti racun yang mereka berikan kepada Rin)
Dia terlalu muda untuk naik tahta. Namun kematian ratu mewajibkan seseorang mengganti tempatnya. Rin memiliki banyak sekali kekurangan, sikap merendahkannya yang terutama. Bagaimanapun dia naik tahta saat umurnya dua belas, itu jauh lebih cepat dari aturan yang ditetapkan.
Aku berdiri di depan kamarnya. Tiga ketokan dan cukup. Berikutnya hanya perlu memanggil namanya, tapi jangan terlalu banyak. Kalau sampai ada yang membuatnya jengkel, orang itu bisa dikeluarkan dari istana.
"Tuan Putri!"
Rin tak langsung menjawab. Ada lima sampai sekian detik sebelum jawaban datang dari sebelah pintu. "Masuk saja!"
Saat pintu kubuka, yang kulihat pertama kali adalah ruangan penuh dengan warna kuning keemasan. Tirai, dinding, lemari, hiasan, semuanya seakan terbuat dari emas. Juga wangi bunga mawar dari jendela. Meja di balkon sudah tertata rapi dan Rin sudah duduk tegap di sana. Aku cepat-cepat berjalan sebelum dia menegurku karena terlalu lama berdiam diri di depan pintu.
"Putri, cemilan Anda hari ini adalah kue keju ditemani teh dan madu." Aku mengambil stroberi yang kuambil diam-diam dari dapur tadi. "Ini tambahan stroberi. Anda sangat menyukainya, jadi saya mengambil lebih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Vocaloid Song-fic
FanfictionHanya cerita pendek yang tiba-tiba muncul dalam kepalaku, berdasarkan lagu-lagu Vocaloid