Nemeshisu no Juukou ネメシスの銃口

124 5 2
                                    

Judul Inggris : The Muzzle of Nemesis

____________________________

Sebuah mansion terbakar. Cahayanya menyala lebih terang dari cahaya bulan. Orang-orang berkerumun melingkari mansion itu, mereka memegang obor, siap melempari si hakim jika ia lolos dari kobaran api. Dari dalam gedung yang terbakar itu, suara teriakanku terdengar.

"Orang yang tertutup dengan dosa. Sekarang... bertobatlah!" kuat dan tetap terdengar di antara suara jatuhnya bangunan ini. Revolver dalam genggaman tanganku tak sekalipun bergoyang, tanganku tak gemetaran dan dengan akurasi sempurna mengarahkannya pada si hakim. Walau berdiri dengan jarak hanya kurang dari 3 meter di antara kami, tanganku tetap saja dengan sempurna dan tanpa membuat celah, tidak sekalipun mengurangi kemampuan menembak.

'Hei ibu... aku sedang menodongkan sebuah pistol pada seseorang. Dia adalah iblis yang membuat begitu banyak orang menderita.'

Tak memedulikan hukum dan keadilan. Asalkan ada uang, ia akan melupakan segala aturan yang berlaku. Sorot matanya akan terpindah. Dari buku undang-undang, kepada tumpukan uang.

'Demi orang ini aku turun tangan pada kekasihku. Dan bahkan walau aku memilih bunuh diri, aku tetap berdiri di sini. Bagiku itu merupakan tanda. Bahwa sekarang adalah waktunya balas dendam...'

"Dasar iblis Pere Noel! Pilihlah bagaimana kau akan meninggal! Apakah kau akan tertembak dengan senjata yang kupegang ini!? Atau kau memilih menjadi abu bersama rumahmu!?"

Setelah gagal bunuh diri, pembunuh berambut hijau dalam diriku menarget sesuatu yang lain, seseorang. Orang yang menyuruhku membunuh, orang yang membuat diriku tenggelam dalam lautan darah mereka yang kubunuh. Politikus, rakyat jelata, polisi... aku sudah lelah melihat cairan merah keluar dari tubuh mereka. Kalau tak ada seorang pun yang berani menurunkan si iblis dari tahtanya, aku akan naik tangga istana menuju si iblis dan menariknya jatuh ke dasar neraka.

'Hei ibu... kau mengajarkanku bahwa sejahat apapun seseorang, mereka tetap bisa menerima pengampunan.'

"Bagaimana kalau begini? Aku akan memberimu sebuah kesempatan untuk tetap hidup. Dengan syarat, kau kembalikan semua uang yang kau ambil dari mereka. Jika kau lakukan itu, aku akan melepaskanmu, aku akan menolongmu keluar dari sini dan melupakan semua yang kau lakukan."

Aku melakukan sesuai ajaran ibu. Aku memberinya kesempatan untuk bertobat, untuk mengulang kembali hidup, memulainya dengan awal yang baru. Dengan api seperti ini, bahkan kalau mayatnya tak ditemukan, orang-orang akan menganggap dia meninggal. Dia bisa bebas dari masa lalunya.

Jawabannya hanya membuatku mendecak kesal. Walau aku sudah memberinya sebuah kesempatan, ia membuangnya sia-sia. Kesalahannya bukan kesalahanku. Aku sudah memberinya kesempatan. Jawaban itu membuat amarah meluap-luap. Rasanya aku akan kehilangan kesabaran dan hilang dalam gelap kebencian, aku akan kehilangan kendali dan menarik pelatuk senjata terkutuk ini.

"Harta milikku... tak akan pernah aku berikan pada sampah sepertimu."

Apa yang bisa dilakukan lagi? Iblis yang sudah tak dapat ditolong lagi. Kalau begitu...

"Bertobatlah!"

Selamat tinggal Tuan Rumah Pengadilan. Matamu sudah sangat lama ditutupi dengan ketamakan. Berbuat curang dan terus menerus meninggikan uang. Si hakim yang jahat. Tenggelamlah dan tidurlah selamanya di bawah kemarahanku dan orang-orang yang kau buat sengsara. Apa kau puas sekarang? Dengan banyaknya kebencian yang kau terima saat ini, apa kau sudah puas?

'Ibu... kau mengurusku sendirian sejak lahir. Aku besar dalam sebuah rumah kayu di dalam hutan. Wajah ayahku pun tak pernah aku lihat...'

Kau pergi meninggalkanku setelah beberapa lama. Kau meninggalkanku tanpa peduli apa aku bisa bertahan sendirian atau tidak. Setelah itu, aku ditemukan oleh orang itu. Si hakim yang hidup dengan memakan uang. Suapan yang ia terima membawa ketidakadilan dalam kota. Menganggap penentu keadilan adalah uang. Ia mengambilku dan menjadikanku bawahannya. Tugasku? Membersihkan. Membersihkan mereka yang tak ia sukai tepatnya. Mereka yang memiliki kemampuan untuk merugikannya akan hilang satu per satu. Aku lebih suka menyebutnya eleminasi. Karena mereka yang tersisa adalah yang setuju mengikutinya dan cara-cara gilanya.

'Ibu... ayah sekarang sudah gila. Ia mengira sebuah boneka adalah kakak. Padahal gadis itu sudah meninggal saat kecelakaan kapal, ia sekarang sudah tertidur di dasar laut. Anaknya sekarang hanya tinggal aku.'

Bagaimana aku tahu? Tentu saja, karena tempat tinggal kita hanya kita yang tahu. Orang ini meninggalkan ibu sendirian saat ia mengandungku. Tapi tanpa kesulitan, masuk ke dalam rumah kayu yang sudah tua itu.

'Menemukan' kau bilang? Dasar orang tua gila. Baju bagus bagai raja, tak kotor oleh lumpur, tak tergores oleh satupun ranting, hanya melihatnya saja sudah dapat diketahui apakah orang itu datang dengan susah payah atau tidak.

Entah mengapa dia datang. Aku sudah melupakan alasannya sejak lama. Aku tak mau mengingat hal yang tak perlu, aku melupakan mereka.

Boneka yang berada dalam pelukannya dipeluk erat. Dengan lembut tangannya mengelus bagian rambut boneka itu. Bahkan berusaha menyelipkan jari-jarinya di antara rambut boneka yang terurai. Benar-benar gila. Memang kalau diingat-ingat, selalu ada sebuah kursi roda dalam ruangannya. Sebuah boneka selalu berdiam terduduk di kursi itu.

Setidaknya sekarang aku tahu apa yang ia lihat sedang duduk di situ.

Apa kau tak bisa melihat kesini?
Lihatlah aku yang berdiri di depanmu ini
Lihat apa yang sedang kulakukan
Apa kau tak akan menegurku?

Gigiku menggertak.

Ini salam terakhirku.

"Selamat tinggal ayahku."

Kau adalah hakim yang korup.

Bunyi pistol menembak menggema di gedung yang terbakar ini. Peluru dari senjata yang ia kirim, terlempar dan tertanam dalam kepalanya. Boneka yang ia peluk terlempar dalam kobaran api. Tubuh si hakim terlempar ke belakang dan dilahap api.

Inilah akhirnya.

'Hei ibu. Bahkan sekarang pun, aku masih bingung. Mengapa kau memilih untuk mencintai orang seperti dia.'

Tapi kurasa kau pasti memiliki alasan yang baik. Karena orang itu juga mencintaiku. Saat aku mengarahkan pistolku, ia hanya tersenyum padaku. Walau tahu aku akan membunuhnya, ia tetap saja tersenyum dengan lembutnya. Apa kau tahu? Kadang saat aku mengingat senyum yang ia pasang, aku teringat dengan senyummu.

Aku tahu semua orang memiliki saat mereka tertunduk pada kesalahan dan kejahatan. Aku terperangkap dalam rasa bersalah, tak bisa memaafkan diriku karena membunuhmu. Terima kasih karena membuatku teringat rasanya menjadi manusia.

Semua orang memiliki kesempatan untuk dimaafkan. Karena jujur saja, mana ada manusia di dunia ini yang bisa hidup tanpa membuat kesalahan? Karena itulah kita bisa dimaafkan, karena itu kita harus memaafkan. Aku tahu semua itu, tapi aku tetap sulit memaafkan diriku sendiri.

Sering, lebih muda memaafkan orang lain daripada memaafkan diri sendiri. Tentu saja kita tak melupakan kesalahan mereka. Kesalahan yang mereka lakukan akan berdiam dalam ingatan kita dan bisa tiba-tiba teringat walau tak sengaja.

Tadi saat aku menarik pelatuk senjata itu, aku teringat sesuatu. Senyum si hakim yang hangat dan lembut, dengan latar belakang perabotan rumah kayu. Saat itu aku baru teringat, bahwa si iblis Lucifer dulunya adalah malaikat.

Vocaloid Song-ficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang