Aku no Meshitsukai 悪の召使 (Part 2)

60 1 0
                                    

Aku tak dapat berkata-kata. Makan siang hari itu begitu hening hingga suara burung terdegar lebih kuat daripada suara sendok pada piring.

Ini salahku... hati kecilku berbisik. Aku mendengarkannya dan menyalahkan diri.

Muncul beberapa adegan yang bisa saja terjadi jika aku menariknya pulang saat penjaga memblokir daerah taman.

Hari ini Rin hanya menyelesaikan makanannya dan lanjut berjalan ke kamar. Aku tak berani mengetok pintunya, tidak bahkan walau hanya memanggil namanya. Sudah berapa hari yang terlewat sejak kejadian di taman. Rin hanya keluar kamar untuk makan.

Mulai muncul desas-desus di istana-aku mendengar beberapa pelayan bercerita saat aku memasuki dapur-beberapa mengatakan ia mulai dewasa, dan beberapa yang lain mengatakan ia sedang sakit.

Aku terus berjaga di sekitar kamarnya, takut kalau saat aku menghilang ada yang akan masuk ke sana dan menyerangnya. Aku meminta penjagaan di sekitar atap diperkertat agar aku tidak harus takut ada panah yang akan menyerangnya lewat jendela.

Sudah lima hari berlalu dan dia masih tidak berbicara denganku. Bahkan suaranya yang marah-marah sudah tidak terdengar. Bagi pelayan lain, itu adalah hal yang baik, tapi aku mulai khawatir.

Akhirnya, setelah sudah lewat seminggu, aku berani mengetok pintu kamarnya. Aku memanggil namanya terus menerus hingga leherku terasa kering dan mengganggu pelayan lain. Rin tidak menjawab, tidak terdengar suara klik saat kunci dibuka. Namun aku dapat mendengar langkah kakinya.

Aku berjalan maju mundur di depan kamarnya, jaga-jaga kalau dia mau membuka pintu. Saat aku sadar, suara langkah kakinya dan milikku seirama. Dia juga melakukan hal yang sama. Rin sedang tidak tenang.

Hanya ada satu pintu untuk ke kamar putri, dan dia mengunciya dari dalam. Tak ada kunci cadangan.

Setelah mencoba berkali-kali, aku merasa harus masuk lewat jendela. Dan tepat itu yang kulakukan. Pada malam hari, setelah semua pelayan sudah tertidur, aku mengendap-ngendap ke kamarnya.

Setelah menyelinap dari penjagaan, aku melompat turun ke balkon kamar putri. Mejanya tertata rapi, ada beberapa piring-akan kubersihkan nanti-yang masih belum diangkat.

Aku mendorong jendelanya perlahan, takut akan membuat suara karena terkunci. Aku mengetok kaca jendelanya, berkali-kali hingga tanganku sendiri lelah.

"Len..." sebutnya dari balik jendela.

"Ya, tuan putri."

Tirai putih yang memblokir pandangan kamarnya terbuka. Mata kami langsung bertemu, miliknya mencerminkan cahaya samar bulan. Rin membuka jendelanya, membiarkanku melihat semua kekacauan yang dia buat selagi sendirian.

"Kau akan sakit jika tidak keluar," ucapku. "Apa Anda ingin ke suatu tempat?" Rin menggeleng, masih sakit hati.

"Aku tak mau keluar. Mereka lebih bahagia aku mengurung diri. Jangan bohong! Aku dengar kata-kata mereka."

Aku melangkah masuk ke dalam kamar hingga kakiku tidak terkena cahaya. "Tuan putri hanya butuh istirahat."

"Tidak, mereka menolakku. Aku tahu mereka takut." Rin memandang bingkai-bingkai foto di dinding. Dia tidak terlalu suka mengambil foto, hanya ada tiga bingkai di sana. Dia sendirian saat berumur lima; dia saat pertama kali duduk di kursi ratu; dan dia duduk di kursi ruang seni, tapi di bingkai itu aku berdiri di belakangnya.

Dia memandang ke cermin, bisa kulihat matanya tertuju padaku.

"Apa kau mau mendengarku permintaanku, Len?"

Detak jantungku menjadi lebih kuat, hampir berhenti. Perasaanku tidak enak, dan itu bukan tanpa alasan. Bentuk matanya berubah, ujungnya sedikit terangkat, dan sorotnya tajam.

Vocaloid Song-ficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang