Apa sebuah kesalahan saat aku memalingkan wajah?
Aku tak berani melihatnya bersimbah darah saat kepalanya terlepas. Tubuhnya jatuh tepat setelah bunyi keras besi itu mencapai dasar kayu.
Aku sudah tahu ini akan terjadi. Tapi semuanya berlangsung sangat cepat, otakku masih memproses kejadian itu. Saat orang di kananku bersorak, lalu yang di samping kiriku mengikuti, yang di belakang dan di depan memuji tindakan si zirah merah, barulah suaraku keluar.
Tersembunyi di tengah kuatnya sorakan, teriakanku tak terdengar oleh siapapun.
***
"Kami berada di dunia yang berbeda. Aku adalah seorang putri yang benar-benar manja, sedangkan dia harus bekerja keras untuk hidup. Meskipun begitu, dia terus-menerus memastikan kemauanku terwujud. Seberapa egoisnya aku, bahkan walau dia harus melakukan dosa, harus melawan hati nuraninya, aku tidak menghentikannya.
Malam setelah hari aku memberikan perintah itu, aku menyelinap ke kamarnya tanpa sepengetahuan siapapun. Aku ingin memberi tahu bahwa aku sudah tak apa, bahwa dia boleh meninggalkanku jika mau.
Karena saat kami menemukan Kaito bersama gadis itu di taman, bukan hanya aku yang terluka. Len juga memiliki perasaan. Dia membimbingku keluar dari sana, tapi aku merasakan tatapannya tetap tertuju pada gadis desa itu. Saat aku menepis tangannya untuk menolak sebuah sapu tangan yang tidak berbahaya, aku tahu Len sedang berdebat dengan hatinya sendiri, menahan diri demi diriku yang melukai gadis yang ia cintai.
Namun saat aku sampai di kamarnya, dia sudah berlumuran darah.
Aku terlambat. Benar-benar terlambat.
"Tolong jangan khawatir," katanya setelah melihatku.
Bukan luka perang yang aku khawatirkan.
Pandangan dan senyumnya setelah hari itu hanya menegaskan segalanya.
Aku bahagia dia memilihku. Sungguh aku bahagia dia benar-benar mencemaskan keadaanku setiap harinya. Tapi kali itu, kebahagiaanku hanya di wajah dan tawa.
Jika saja aku lebih cepat, jika aku tidak menunggu hingga malam, mungkin aku sedang berjalan-jalan di taman istana sekarang. Tapi aku tak sempat berkata padanya, 'Len, kau boleh meninggalkanku demi gadis itu.' Ada ketakutan yang menahanku. Aku tak mau dia pergi dari sisiku.
Mungkin dari awal aku sudah tahu dia saudaraku. Aku sadar kami mirip. Namun ketidakpedulianku mengantarku ke arah yang salah. Aku tak pernah bertanya soal keluarganya, tidak pernah soal saudaranya, tidak pernah bahkan menanyakan apa ia ingin pulang untuk kembali bersatu dengan siapapun yang menunggunya di rumah.
Aku tidak pernah peduli.
Karena aku tak mau kembali sendirian di istana ini.
Jadi setelahnya, aku terus diam. Tidak pernah kuungkit kejadian itu lagi, walau untuk menghibur diri.
Surat-surat terkutuk yang dikirimkan oleh kerajaan lain langsung aku kirim kembali. Aku tak mau membacanya, takut isinya akan mengingatkanku.
Perlahan-lahan, mataku terbuka. Aku mulai bersimpati dengan para pelayan, walau awalnya aku hanya menatap mereka iba dari kejauhan jika mereka tertimpa masalah. Lama kelamaan, rasa simpati itu datang lebih sering, beberapa pelayan juga melihatku.
Dan pada suatu hari, aku melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan gadis desa itu padaku: memberi sapu tangan pada seorang gadis yang menangis. Aku mendapati seorang pelayan yang ternyata sering menangis di dapur.
Katanya, dia melarikan diri dari desanya karena dianggap sangat jelek. Dia melihat bayangan wajahnya pada air di ember, dan ingatannya tentang desanya kembali.
Dia cantik.
Aku memberinya beberapa baju dan sedikit uang secara diam-diam, dan menyuruhnya kembali ke desa bersama dengan kata-kata pujian.
Setelah kejadian itu, pelayan lain mengira aku mengusirnya.
Pelayan yang kupulangkan itu sudah mengatakan pada mereka bahwa aku menolongnya. Namun tak ada yang mempercayainya, menganggapnya diancam olehku. Aku pun tak akan mempercayainya jika saja bukan aku yang melakukannya.
Tak ada yang akan mempercayai kebaikan seorang ratu yang karena sakit hati membantai seisi negeri.
Apapun yang ingin kulakukan untuk memperbaikinya adalah usaha sia-sia. Semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang bisa menggantikan nyawa yang hilang.
Dari awal aku sudah tahu bahwa aku manja, dan pada saat itu aku berpikir, 'memang beginilah cara aku dibesarkan.' Aku tumbuh dengan merendahkan orang lain. Walau aku ingin berubah, selalu dan selalu aku mendengar kata-kata yang menyuruhku untuk melakukannya besok, karena hari ini aku harus bertahan, tidak mau direndahkan.
Hingga akhirnya, pada malam hari aku melihatnya berlumuran darah, aku sadar betapa sakitnya melihat orang yang aku sayangi terluka.
Maafkan aku, Len."
***
Itu yang pertama. Dan agak terlalu panjang menurutku. Aku mengambil kertas lain dan mencoba membuatnya lebih singkat. Aku menyimpan surat pertama yang kubuat, karena di dalamnya adalah isi hatiku yang sebenarnya, yang tidak dipersingkat. Sisanya yang tidak kupakai kuremas hingga menjadi bola.
Berulang kali aku mencoba menulis ulang semuanya, hingga akhirnya aku ingat bahwa surat itu mungkin akan sampai di tempat yang sangat-sangat jauh, yang mana bahkan bahasaku mungkin tak dapat dimengerti. Aku memutuskan untuk hanya menulis beberapa bagian dari kalimat-kalimat akhir, hanya fokus pada pesan yang ingin kusampaikan.
Aku terus menerus mengulangnya, beberapa kali membacanya kuat-kuat dan membiarkan air mataku membasahi surat-surat itu.
Saat langit mulai berubah oranye, aku mengisi yang kubuat terakhir di dalam botol dan menutupnya. Aku menoleh ke belakang, ke arah lemari.
Di dalamnya terdapat dua baju. Baju Len tergantung dengan rapi, dan di dekat baju pelayannya adalah bajuku, daster berwarna krim.
Yang satunya adalah akhir dari kehidupanku yang lama.
Dan yang satunya, yang akan kupakai untuk berjalan ke pantai, adalah awal dari kehidupan baruku.
"Mengalirlah jauh, botol kaca."
_______________
Judul : Servant of Evil
Singer : Kagamine Len, Kagamine Rin (Sedikit)
Song by : Mothy / Aku no P
KAMU SEDANG MEMBACA
Vocaloid Song-fic
FanfictionHanya cerita pendek yang tiba-tiba muncul dalam kepalaku, berdasarkan lagu-lagu Vocaloid