Chapter Four

159 13 0
                                    

"Tidak. Aku tidak mau." Kataku lalu masuk ke kelas dan mengambil tas ku seiring bunyi bel terdengar. "Teganya kau, Ashley!" Teriak Olive. "Aku tidak memberi sial." Jawabku sambil terus berjalan menuju kantin.

Peep peep! Klakson mobil Dylan sudah terdengar, menyambutku di gerbang sekolah. Aku masuk ke mobil dan mencium pipi Dylan. "Bagaimana harimu?" Tanya Dylan. "Aku tidak tahu. Aku mungkin memisahkan diri dari Olivia, Eva dan Tina." Jawabku. "Duh, kenapa?" Tanya Dylan.

"Kau tahu, mereka mempertaruhkan seorang anak baru untuk dijadikan pacar hanya agar mereka dapat sepatu snicker dari Paris yang diberikan oleh Gina. Kau bisa membeli 100 pasang snicker seperti itu di L.A." Jelasku.

"Jadi, sekarang kau benar-benar sendirian?" Tanya Dylan.

"Sepenuhnya." Jawabku.

"Baiklah, malam ini, kau antar aku ke Harry's bookstore ya, aku mencari bahan untuk makalah Mr. George. Kau bisa beli novel." Kata Dylan. "Oh, benarkah? Terimakasih!" Seruku. "Sama-sama, adikku sayang." Jawab Dylan sambil tersenyum. Aku merangkulnya. Andai orang-orang bisa mengerti betapa cintanya aku pada kakakku, Dylan.

"Ash! Cepatlah!" Dylan meneriaki ku dari bawah. "Tunggu sebentar, Dylan!" Kataku lalu bergegas menuju ke pelataran parkir rumah. Dylan sudah berdiri di mobilnya dengan flannel kotak-kotak merah, celana jeans hitam dan sepatu Keds putih. "Kau sempurna sekali malam ini." Godaku. "Jangan merayu ku, aku hanya memberimu 1 novel saja, tidak lebih." Jawab Dylan lalu membukakan pintu untukku. "Terimakasih, pangeranku." Kataku lalu masuk kedalam mobil.

Aku sudah merasa cantik dengan kaos polos merah, jaket flannel, celana jeans panjang dan sepatu bulu.

Harry's Bookstore, 07:12pm.
"Aku di rak Sosiologi." Kata Dylan lalu pergi meninggalkanku di lorong novel. Aku mengangguk pelan. Aku menyusuri lorong ini. Teen fiction, tertulis di atasnya. Aku langsung semangat menyusuri lorong ini. "Elv, Eld, Ell, nah! Endless Imagination!" Ujarku setelah mendapatkan novel yang aku cari. Saat aku berjalan ke meja baca. Dap!

Itu? Itu bukankah, bukankah itu si anak baru? Kataku sambil mengintip dari sela-sela lorong. Apa yang ia lakukan disini? Kataku. Aku sangat yakin itu dia, dari rambutnya yang keriting dan jaket jeans yang mungkin tidak pernah ia lepas. Seperti biasa, ia sedang menulis. Aku tidak tahu apa yang sedang ia tulis. Saat aku memperhatikan.. Braak!! Rak di sebelahku tak sengaja ku senggol.

Namun si anak baru itu benar-benar tidak menengok ke belakang! "Apa?" Kataku pelan. Aku membereskan buku-buku yang terjatuh. "Kau, duduk disini." Kata itu yang hampir membuatku sport jantung. Aku menahan napasku. "Kenapa diam saja?" Katanya lagi, tanpa menoleh. "Duduklah disini." Ia lalu menoleh, dan itu benar si anak baru. "Aa..aa, kau maksud aku?" Kataku tergugup. "Ya, kau." Jawabnya lalu kembali menulis. "O, oke.." jawabku. Aku menarik kursi di sebelahnya.

"H..halo?" Kataku sangat sangaaat gugup. Entah kenapa, aku benar-benar tidak bisa mengungkapkannya. Ia memberiku secarik kertas. Jesse Turner, Ashley Willingson. Begitu isi nya. "Hai, kau pasti si anak baru itu kan, Jesse? Dan omong-omong aku Willington bukan Willingson." Kataku, dengan nada yang ku kira terdengar sangat gugup.

"Balik kertas itu." Katanya, sambil terus menulis. Maaf, maksudku Willington. Tolong, jangan terlalu keras bicara. "Wow, kau bisa tahu aku?" Kataku dengan suara agak pelan. Ia melirikku. Sial! Matanya indah sekali! Itu mata hijau, hijau laut, seperti punya Dad. "Aku tidak begitu saja masuk ke sekolah itu." Jawabnya sambil terus menulis. "Jadi? Apa maksudmu?" Tanya ku lagi, sambil mencoba melihat apa yang ia tulis. "Aku tahu semuanya tentang Montgomery, anak-anaknya, guru-gurunya, anak-anak nakalnya." Ia menoleh lagi, tepat saat ia mengatakan anak-anak nakalnya. "Maksudmu, kau tahu aku? Dan sahabat-sahabatku?" Tanyaku lagi. Ia tidak menjawab.

"Hey, apa yang sedang kau kerjakan?" Kataku menggeser kursiku lebih dekat ke arahnya. "Surat. Aku suka menulis surat." Katanya sambil terus menulis, dengan pulpen merah.

"Oh, itu bagus. Aku sangat familiar dengan surat, Mom dan Dad selalu mengirim surat." Ujarku. Ia diam tak menjawab. Aku kemudian diam, lalu membaca novel yang ku pilih. "Dwayne Roberts, 1994. Novel itu berakhir dengan Maria yang bangun dari imajinasinya." Ujarnya tiba-tiba. "Kau tahu tentang Endless Love?" Tanyaku sembari menatapnya yang sibuk dengan tulisannya.

"Ya." Jawabnya. Kemudian aku berpikir mungkin ia sedikit terganggu oleh semua pertanyaanku. Tiba-tiba ia memberikanku secarik kertas, datanglah ke pesta ulang tahun ku yang ke 17. Aku akan meneleponmu. Begitu isinya. Lalu ia meninggalkanku. "Hey! Jesse!" Kataku mencoba memanggilnya. Namun ia sudah keluar dari toko ini.

JESSE (because a boy like you is impossible to find)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang