Chapter 3

238 51 3
                                    

Wait, what?”

 
 
Aku tahu ini terdengar mengekang, tapi, bisakah dia mengerti? Aku tahu aku menyukai tawanya, tapi, aku benci tawa yang satu ini. Aku tahu aku menyayanginya, tapi, aku juga ingin dia tahu, bahwa aku ingin dia.

 
 
“Kuharap kau tidak tuli,”

 
 
“Zayn? Ini.. ini membuatku bingung,”

 
 
“Bisa kau tutup laptopmu dan kita berhenti membicarakan soal syarat keduamu? Bëlla Fox?”

 
 
Bëlla–mengangguk. Sialan. Aku seperti mengontrolnya, dan aku sangat menyadari itu. Aku bingung dengan 13 syarat lainnya, apa syarat-syarat itu? Ini memusingkan. Kulihat Bëlla yang sudah rapi dan.. seperti takut menatap dan berbicara padaku, dan ini mempersulit keadaan.

 
 
Tak ingin ada pembicaraan, aku menarik tangannya, tak terlalu erat, karena aku tidak ingin menyakitinya, tidak. Kuarahkan langkahku menuju cafétaria samping kampus, sedikit meneguk Capuchinno mungkin cukup memulihkan keadaan.

 
 
Aku duduk berhadapan dengannya, astaga, dia tak melirik padaku sedikitpun, baru saja aku mencabut syarat pertama yang menurutnya cukup membuat ia merasa bersalah, setelah itu, ia kembali ceria, dan aku mengubah keceriaan itu cukup cepat dengan aku menyebutkan syarat keduanya. Fuck. Dia seolah takut padaku, takut pada sahabatnya yang mempunyai segudang rahasia di baliknya. Apa aku pantas disebut sahabat? Setelah apa yang selalu ia ceritakan, keluhannya, kestresannya. Sedangkan aku? Justru aku menyembunyikan hal yang ia cukup harus tahu, tapi, ia tak berhak. Keparat. Ini sulit.

 
 
Dia terus menyeruput Capuchinno-nya, sesekali ia mungkin.. pura-pura mengedarkan pandangannya sekedar agar tengkuknya tak pegal, tapi, ia berusaha untuk tidak berkontak langsung dengan mataku yang selalu ia sebut Beautiful Hazel Eyes. Sial, aku rindu sebutan itu.

 
 
Tak ada pilihan lain, kugenggam tangan kosongnya yang ia letakkan dia atas meja. Berhasil, dia mendongak menatapku, aku tersenyum dibuatnya, dia menghipnotisku.

 
 
“Zayn,”

 
 
Suaranya–sangat–lembut. Senyumku melebar kala ia menggumamkan namaku sejurus dengan ia menatapku heran, sesekali, ia tatap genggamanku yang mengerat. Sialan, aku nyaman.

 
 
“Kau risih dengan syaratku?” good question, Malik.

 
 
Dia menggeleng cepat, oh, “tidak, teruslah beri aku syarat, aku menyukai syarat-syaratmu,”

 
 
“Dan sikapmu mengacuhkanku?”

 
 
“Aku tidak mengacuhkanmu, sungguh, Zayn, jika aku berbicara, aku selalu ingin tertawa tadi, kau.. menggemaskan, maafkan aku menertawakanmu,”

 
 
Oh.

 
 
“Oke. Engh.. kenapa kau tertawa?”

 
 
“Sudah kukatakan, bukan? Kau menggemaskan, Zayn Javadd Malik,”

 
 
Sialan. Dia sedang menahan tawanya, aku benci itu. Astaga, ada apa denganku? Aku gampang emosi akhir-akhir ini, dan aku menyadari perubahanku. Keinginan Bëlla merubah segalanya. Lagi, untuk apa aku bertanya, mengapa dia tertawa, toh, itu haknya—tapi aku sudah mencabut haknya.

 
 

×××

 
 
–03 April 2020

 
 
Aku kembali menjemput Bëlla dengan sepedaku, aku tidak tertarik dengan mobil, dan lagi, Bëlla sependapat denganku. Dari pekarangan rumahku, bisa kulihat, Bëlla sedang duduk manis di depan rumahnya menungguku—well, bukan aku percaya diri, tapi, memang itulah kebiasaannya. Menungguku. Orang-orang membenci menunggu, setahuku. Tapi Bëlla tidak. Dia akan menunggu apapun yang ia inginkan, tapi, bukan berarti dia menginginkanku, dia ingin sekolah dan menjadi sukses. Omong-omong soal keinginannya, aku jadi tidak tega.

Fifteen ≠ zjmWhere stories live. Discover now