Bab Sepuluh

5.8K 542 10
                                    

Motor Zen berhenti tepat di pinggir sebuah lapangan basket outdoor yang berada di salah satu sudut kota. Hari memang sudah terlalu larut malam. Tapi tempat itu tidak terlalu gelap. Yoshi dan Zen turun dari motor.

Zen menyuruh Yoshi duduk di atas sebuah bangku kecil di pinggir lapangan, dan Zen duduk di sampingnya.

Mereka berdua diam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka sejak mereka keluar dari rumah kos.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Zen dengan hati-hati.

Yoshi mengambil napas dalam, membiarkan paru-parunya terisi oleh udara malam yang dingin yang seolah-olah ingin membekukan dadanya. Kemudian dia hanya mengangguk perlahan.

"Jangan bohong padaku, Yoshi," pinta Zen sambil merangkul pundak Yoshi.

Mendengar hal itu, Yoshi menggigit bibir bawahnya sambil memejamkan kedua matanya. Begitu matanya terbuka, airmatanya langsung mengalir, diiringi isakan tangis kecil.

Zen menarik pundak Yoshi dan menaruh kepala Yoshi di dadanya. Tangis Yoshi langsung meledak seketika. Dia meraung-raung dan membasahi kaos Zen dengan airmatanya. Dirinya seakan-akan menjadi manusia yang paling menyedihkan di dunia ini.

"Cup! Cup! Sudahlah. Itu semua sudah berakhir. Sekarang kamu bisa tenang," tutur Zen sambil mengelus pundak Yoshi berusaha menenangkan.

Tak butuh waktu lama, tangis Yoshi pun reda. Ia menarik diri dari dekapan Zen sambil mengusap airmata dengan jemarinya sendiri.

"Maaf. Sudah membuat bajumu basah," ucap Yoshi. Zen hanya tersenyum masam.

"Tidak masalah. Tidak usah dipikirkan. Sekarang tenangkan dirimu dulu. Mungkin kamu bisa cerita padaku supaya meringankan sedikit perasaanmu," tawar Zen.

Yoshi mendongak menatap langit yang hitam kelam. Tidak ada satupun bintang di langit malam ini karena tertutup awan.

Saat ini ia masih merasa sedikit terguncang. Tapi beranikah ia menceritakan semuanya kepada Zen? Yoshi menatap Zen dengan sendu. Yang ditatap malah tersenyum tipis.

"Aku... aku...," kata-kata Yoshi terputus. Lidahnya seperti beku. Sulit sekali untuk mengungkapkan pada Zen mengenai segalanya. Termasuk hubungannya dengan Kak Raino sebagai pacar. Tapi sepertinya sekarang tidak lagi.

Yoshi merasa sudah tidak lagi mengenal Kak Raino yang dulu. Kak Raino yang sopan, Kak Raino yang dewasa. Kak Raino yang... ah, sudahlah. Yoshi tidak ingin lagi memikirkan hal itu.

"Kamu mau bilang apa, Yos? Katakanlah," pinta Zen.

Yoshi menggeleng lemah. Mungkin ia harus mrngikuti kata hatinya untuk tidak mengatakan apapun mengenai hubungannya dengan Kak Raino. Semua bisa jadi rumit nanti jika Zen tahu hal itu.

"Tidak apa-apa. Aku hanya sedih saja," jawab Yoshi berbohong.

"Kenapa kamu tidak mau jujur padaku?" tanya Zen tiba-tiba. Yoshi memandang Zen dengan kening berkerut.

"Apa maksudmu?"

"Sudahlah. Aku tidak ingin membahasnya. Sekarang kita mau kemana? Apa kamu berani untuk pulang?" tanya Zen.

Yoshi masih merasa agak takut jika nanti di rumah ia bertemu dengan Kak Raino. Tapi kalau tidak pulang, memangnya ada tempat lain untuk tidur malam ini.

"Lebih baik kita pulang saja, Zen."

***

Yoshi sudah agak mengantuk ketika motor Zen melaju menembus kegelapan malam. Kelopak matanya sudah terlalu berat. Tapi ia tidak ingin mengambil resiko untuk terjatuh dari atas motor.

Strawberry (boyslove)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang