7. Ikatan Batin

130K 7.6K 242
                                    

BAGIAN 7: IKATAN BATIN

SASIKIRANA

PRANGGG!!!

Aku tersentak saat mendengar bunyi nyaring itu. Aku menunduk dan melihat pecahan benda antik yang sedari tadi kupegang. Tanganku yang menjatuhkannya.

Kenapa perasaanku tidak enak?

"Sasi, lo nggak apa-apa?"

Aku menoleh ke samping, melihat Bila yang menatapku heran. Kugelengkan kepalaku dengan pelan. Sebenarnya aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tapi apa? Kuangkat tanganku dan memegang dadaku. Kupejamkan mata sejenak, menghirup napas dalam-dalam saat merasakan jantungku berpacu sangat cepat dan itu membuatku sesak.

"Maaf, Anda harus ganti rugi."

Aku kembali membuka mataku dan melihat seorang penjaga toko sedang membersihkan benda yang tadi kupecahkan. Kuanggukkan kepalaku lalu mengajak Bila berjalan menuju kasir. Kasir perempuan itu menyebutkan nominal yang harus kubayar sebagai ganti rugi karena memecahkan salah satu hiasan dinding yang terbuat dari kaca. Dan aku terlonjak kaget mendengar nominal yang disebutkan.

"Tapi, Mbak apa tidak terlalu mahal? Harganya saja tidak sampai segitu," ucapku pelan mencoba memberi sedikit penawaran agar diturunkan nominal ganti ruginya.

"Maaf, Mbak. Di sini terteru segitu. Saya tidak bisa menguranginya," jawabnya sopan.

Kuputuskan untuk membayar dengan sisa uang sakuku bulan ini. Aku harus hati-hati lain kali. Niatnya hanya ingin melihat-lihat malah merusak benda karena perasaanku yang tidak menentu tiba-tiba. Selesai mengurus ganti rugi itu, aku keluar dari mall. Aku menoleh saat merasakan tepukan di bahuku.

"Lo kenapa? Wajah lo kok pucat banget?"

Aku tersenyum kecil pada Bila. "Gue ngerasa nggak enak, tapi karena apa ya, Bil?" tanyaku pelan.

Bila tampak berpikir. "Mungkin cuma perasaan lo aja, Si."

Aku termenung sejenak. Merasa tidak menemukan jawaban, aku mengangguk menyetujui gagasan Bila. Setelah itu kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Baru saja aku keluar dari mobil Bila, hpku berdering. Segera kuambil dan kujawab panggilan itu.

"Sasi, cepat ke rumah sakit."

"Ada apa, Kak?"

"Cepat."

Setelah itu sambungan terputus. Aku bertanya-tanya kenapa Kak Aurel terdengar begitu cemas dan mendesakku agar cepat datang ke rumah sakit. Apa ada yang sakit? Apa itu tanda dari perasaanku yang mengganjal sedari tadi? Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju garasi dan memasuki mobil milik Kak Aurel yang sudah biasa kupakai. Sepanjang perjalanan, aku masih saja tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Perasaanku malah semakin tidak menentu saat sudah sampai di pelataran rumah sakit. Aku berjalan pelan sambil membuka pesan dari Kak Aurel tentang ruangan yang harus kukunjungi. Kakiku melangkah seraya mataku mencari-cari satu ruang di antara banyaknya ruang rawat. Sayup-sayup, kudengar suara yang sudah kutahu itu suara siapa. Kuikuti sumber suara itu yang akhirnya membawaku ke sebuah situasi yang membuatku semakin bingung. Di sana, di depan sebuah ruangan terlihat beberapa orang berkumpul dan seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. Kulihat Kak Daniel yang duduk di kursi sambil menunduk dalam, Mama yang mengusap wajahnya berkali-kali, dan Kak Aurel yang terisak di sebelah Mama.

Semuanya ada di sini kecuali Mas Gibran. Tapi kan dia memang sedang bekerja. Lalu siapa yang sakit? Kenapa mereka terlihat sangat sedih?

Perlahan kudekati Kak Aurel dan menepuk bahunya pelan.

Dia menoleh dengan terkejut, sebelum akhirnya memelukku. "Sasi, akhirnya kamu datang juga."

Aku hanya bingung dipeluk seerat ini. Aku melihat Mama yang tersenyum lega melihatku, sedang Kak Daniel malah sebaliknya, terlihat marah-lebih dari itu, dia murka-tatapannya sangat menakutkan. Dan dia langsung beranjak menghampiriku, mencekal lenganku dengan kuat dan menarikku berdiri.

PAIN (TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang