BAGIAN 9: HANYA PELARIAN
SASIKIRANA
"Sasi...."
Aku terlonjak mendengar panggilan itu, tapi aku tetap tidak bisa menggerakkan tubuhku di balik selimut.
Aku takut.
"Sasi ... ini Mas Gibran."
Setelah itu, selimut yang menutup seluruh tubuhku, kusingkap begitu saja. Aku langsung menegakkan tubuhku dan memeluk Mas Gibran erat-erat. Terisak di pelukannya. Aku mencengkeram lengan Mas Gibran sekuat yang aku bisa. Aku tidak bisa bertumpu, aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan tanpa ada orang yang menopangku. Tanganku yang bergetar mencengkeram lengannya karena aku takut Mas Gibran akan meninggalkanku.
"Mas...," lirihku, "A-aku...."
"Sstt ... Mas tahu. Tenanglah. Mas jagain kamu," bisiknya lirih.
Aku masih memeluknya erat, dengan sisa isakan yang masih bisa kukeluarkan di tengah ketakutanku. Usapan di punggungku sedikit mengurangi ketakutanku. Tapi saat Mas Gibran melepaskan pelukannya dan mulai berjalan menjauhiku, aku berteriak sekeras mungkin.
"Mas Gibran jangan pergi!" Dan aku kembali terisak.
Ya Tuhan, aku saja tidak tahu kenapa tubuhku bereaksi semengerikan ini. Padahal otakku tahu aku sendirian di kamar ini, tidak ada yang mungkin akan menggangguku. Tapi justru hal yang menggangguku sejak tiga tahun lalu semakin lama semakin mengusik kehidupanku. Yang aku kira sudah kulupakan begitu saja, ternyata kembali muncul saat beberapa hari lalu Kak Daniel melakukan sesuatu yang membuatku kembali terbayang dengan kenangan mengerikan di masa lalu.
"Mas nggak pergi, Si. Cuma mau ambil makan buat kamu."
Mas Gibran kembali memelukku yang semakin terisak. Sejak dulu, selalu Mas Gibran yang bisa menenangkanku. Dan aku takut dia pergi meninggalkan aku yang masih tidak mengerti ada apa dengan diriku sendiri.
Aku menggeleng di pelukannya. "Nggak boleh pergi!"
Embusan napasnya terdengar di ujung kepalaku. Dia selalu sabar menghadapiku yang hampir seperti orang gila. Tidak jarang, hampir seminggu sekali aku bisa bereaksi seperti ini. Entah karena hal apa, tidak aku ingat. Otakku benar-benar lumpuh saat berusaha mengingat yang terjadi. Suara pintu terbuka membuatku kembali waspada. Aku semakin berlindung di dada kakakku.
"Dia nggak apa-apa?"
Suara lirih yang kutahu milik siapa, membuatku kembali bernapas lega. Aku merasakan tangan lain mengusap rambutku dengan pelan.
"Tenang ya, Si." Terdengar Kak Aurel berkata di sampingku.
Aku masih tetap diam memeluk Mas Gibran. Usapan tangan mereka membuatku hampir terlelap. Aku mengasihani diri sendiri. Aku selalu merepotkan orang-orang di sekelilingku. Bukan hanya merepotkan kakakku sendiri, tapi kakak iparku dan juga Mama. Mereka semua harus menjagaku yang kadang seperti orang gila.
"Aurel, bisa tolong ambilkan makan buat Sasi? Dia nggak mau kutinggal."
Bisikan yang Mas Gibran tujukan pada istrinya semakin membuatku merasa bersalah. Tidak seharusnya aku merepotkan mereka, kan? Kenapa aku masih saja seperti anak kecil? Bahkan aku sudah dewasa, sudah 21 tahun. Kenapa pekerjaanku hanya menyusahkan mereka?
Tidak lama kemudian pintu kembali terbuka, sepertinya Kak Aurel sudah kembali ke kamar ini. Mas Gibran melepas pelukannya dan mengusap wajahku yang sudah benar-benar basah.
"Kamu makan dulu ya." Kemudian Mas Gibran mulai menyuapiku dengan sabar.
Aku melihat wajah Kak Aurel yang seperti merasa bersalah. Dia memberiku segelas air putih setelah aku selesai makan. Dia juga memberiku obat yang selalu kuminum saat aku berubah jadi jadi seperti ini. Takut dan waspada. Mas Gibran membantu agar aku berbaring, menyelimutiku sebelum dia duduk di sofa kamar ini. Dia tahu aku tidak mau sendirian di saat seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAIN (TERBIT) ✔
RomanceTELAH DITERBITKAN. TERSEDIA DI TOKO BUKU. Karena di mana pun cinta berada, luka akan senantiasa mengiringinya. Dan selebar apa pun luka, cinta akan selalu menyembuhkannya. -Sasikirana Arundati- Perempuan malang yang hidup dalam kekejaman dunia...