Permohonan Maaf

5.5K 427 0
                                    

Rasa dingin memeluk kulit, dengan mata yang sembab dan kepala yang berat terlihat begitu mengerikan. Aku duduk membisu di depan televisi dengan selimut merah marun yang membungkus tubuh. Menyesap teh hijau yang hangat tapi tanpa rasa.

"Bagaimana perasaanmu sekarang ?"

Aku berpaling kearahnya. Wanita ini terus saja menanyakan keadaanku sejak 30 menit yang lalu. Kota Rjukan sedang mengalami badai salju hari ini, rasanya aku akan mati membeku jika saja tidak ada pemanas di rumah ini.

"Aku tahu, kau pasti sangat marah padanya. Aku juga seperti itu, Lena. Rasanya aku ingin mencabik-cabik wajahnya" ucapnya geram.

Aku tersenyum hambar, lalu mengalihkan pandanganku ke arah tangga. Mendesah pelan, aku benci dengan keadaan ini.

"Tapi kau tahu, aku dan Christian telah membicarakan ini semalam saat kau tidur." tambahnya.

Aku mengangguk, bukan tanda mengerti tapi anggukan untuk mengakhiri percakapan ini. Baru pertama kali ini, aku sangat tidak tertarik berbicara dengan Rowena.

"Dengar, kau mungkin marah atas insiden pelukan Justin. Lalu kemudian membencinya dan wanita itu, tapi itu bukan jalan terbaik, Lena. Kau harus kuat dan bertahan. Berpikir positif, mereka hanya berpelukan bukan tidur bersama. Justin selama ini tidur diruang kerjanya bukan ?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Jadi, mungkin saja ini adalah cobaan dari Tuhan. Atau taktik licik Cassandra untuk memisahkan kalian"

Rowena berbicara serius, terlihat dari sorot matanya yang biru. Aku berpikir sejenak, ucapan Rowena ada benarnya. Mungkin ini adalah taktik licik Cassandra, ia pasti sangat sakit hati karena aku merebut Justin-nya.

"Jadi, apakah kau ingin pergi atau bertahan ? Tapi menurutku kau pasti bertahan." tanya Rowena.

Kepalaku mengangguk mantap. Wanita itu tersenyum licik, permainan dimulai.

-------

"Aku harus meminta maaf padanya, Cass."

Cassandra menggeleng, tangannya menahan pergelangan tanganku.

"Tidak Justin. Tunggu sebentar lagi, minta maaf juga perlu waktu. Ia pasti belum bisa memamaafkanmu sekarang." ucapnya serak. Cassandra memang belum sepenuhnya pulih, ia belum mampu duduk dan memakan apapun.

Aku berpikir sebentar, lalu akhirnya kembali duduk disamping Cassandra. memandang ke arah wanita cantik yang sekarang terbaring lemah tak berdaya dikasurku

"Aku hanya ingin dia mengerti, Cassandra. Seharunya ia percaya dan tak egois seperti ini." desahku. Senyum terbentuk dibibirnya yang pucat.

"Lena hanya butuh waktu untuk mengerti, Justin. Biarkan dia memenangkan pikirannya untuk beberapa saat." lirihnya. Suaranya serak, matanya sayu, wajahnya membiru karena lebam.

Aku mengangguk, tanganku mengusap telapak tangan wanita itu lembut.

"Istirahatlah." ucapku lembut. Lalu menarik selimut merah dan menyelimuti Cassandra. Melangkah pelan ke arah balkon, badai salju telah berhenti beberapa saat yang lalu. Tidak ada lagi taman penuh mawar merah, sejauh mata memandang hanya ada salju yang memanjakan mata. Pandanganku terhenti di kursi taman. Dua wanita dengan pakaian musim dinginnya terlihat berbincang, sesekali wanita dengan mantel merah tertawa. Mata coklatnya berbinar, tak tampak kesedihan dimatanya yang sembab.

"Hai Justin!"

Aku mengerjapkan mata, wanita berambut coklat keemasan itu tersenyum simpul. Seakan ia lupa akan isak tangisnya tadi malam. Wanita disampingnya menatap tajam, tidak ada raut wajah terkejut dengan tatapan yang wanita bermata biru lontarkan. Sedetik kemudian bibirnya ikut tersenyum.

"Ayo turun!" teriak Lena lagi.

Aku menunjuk diriku sendiri, kepala Lena mengangguk cepat. Senyum masih melekat diwajahnya.

"Iya tentu saja kau, Justin. Ayo turun. Salju sangat indah dilihat darisini"

Aku tak bergeming sesaat menatap bingung ke arah dua wanita tersebut. Kemudian memanjat pagar balkon, bersiap-siap melompat turun.

"Hey! apa yang kau lakukan"

"Jangan melompat! kau akan terluka." tambahnya Tersirat dengan jelas nada khawatir di perkataanya. Aku menggeleng, lalu tersenyum dan melompat turun.

"Justin!" teriaknya sebelum Lena menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Aku berjalan pelan ke arahnya, terdengar isakan. Tanpa bertanya, aku langsung menariknya dalam pelukanku yang hanya menggunakan kaos hitam tipis.

"Justin...Rowena." ucapnya, suaranya bergetar.

"Hey, ini aku Lena. Aku tak apa-apa." ucapku lembut. Telapak tangannya terbuka, matanya memerah, tangisnya mulai mereda saat tangan lembutnya menyentuh pelan wajahku.

"Aku telah terbiasa lompat dari atas balkon, Lena." tambahku.

Matanya yang coklat memandang kearah Rowena, wanita itu mengangguk setuju.

"Ia memang jarang menggunakan tangga." jelas Rowena.

Lena menatapku lembut. Memukul pelan dadaku berulang-ulang.

"Aku takut kau terluka." ucapnya manja.

Aku terkekeh, dan mengelus pelan rambut coklat keemasan miliknya.

"Aku minta maaf, Lena."

"Cassandra memelukku tiba-tiba saat ia sadar, dan kau masuk diruangan itu. Kau salah paham" tambahku.

Dia mengangguk pelan, matanya menatap lembut ke arahku. Senyum tulus terpancar dibibirnya.

"Aku yang terlalu egois. Seharusnya aku percaya kau mencintaiku." ucapnya lembut.

Aku tersenyum lalu mencium keningnya lembut.

"Aku mencintaimu, baby"

Ia mengangguk pelan "Aku tahu."

"Well, ini kesempatan terakhirmu, Brother. Satu kali lagi kau mengecewakan Lena aku akan membuang potongan tubuhmu di sungai Glama."

Lena melotot tak percaya ke arah Rowena yang berdiri dengan angkuh tak jauh dari kami

"Aku akan menggunakan kesempatan terakhirku dengan baik, Rowena."

Rowena tersenyum sinis, ia menatap ku tajam.

"Kita lihat saja nanti, Mr. Bieber."
-------


Lena LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang