Pertemuan Kembali

6.1K 401 0
                                    

Salju turun kembali kebumi, menutupi seluruh sudut. Desahan nafas terdengar pelan, air mata kembali menerobos keluar. Tanpa suara, aku memeluk betisku membiarkan kepala bertumpu pada lutut.

"Sudah dua minggu kau begini."

Aku tak bergeming, terdengat derap langkah mendekat. Aroma parfum maskulin meruak di penciumanku.

"Lupakan, Lena. Kau tak boleh terus terpuruk." Lanjutnya.

Aku menghadap ke kanan, menatap lelaki itu berdiri dengan gagah. Kemeja hitam dengan lengan tergulung sesikuī, rambut hitam yang tersisir rapi dan mata coklat yang persis dengan mata ayah.

"Aku malas,"

Dia menghebus nafas pelan, beranjak dari tempatnya mendekati pintu balkon yang terbuat dari kaca. Dari atas sini dapat dilihat keindahan menara Eiffel dengan lampu warna-warninya.

"Aku kasihan padamu, kau bahkan sudah seperti mayat hidup sekarang."

Kepalaku mengangguk malas, kembali memandang menara Eiffel ditengah-tengah padang salju.

"Kau seharusnya memberi tahu ayah tentang hal ini. Dan kalian bercerai."

Aku mengalihkan mataku ke arahnya, memandangnya dengan tatapan tak percaya.

"Kenapa ? Kau tak ingin cerai dari dia ?" Tanya lelaki itu menanggapi tatapanku.

Aku menunduk, air mata kembali turun dari pelupuk mataku. Aku memang pergi darinya, tapi cerai ? Hal itu bahkan tak pernah terlintas dipikiranku.

"Kau menangis lagi ?" Tanyanya, ia menarik daguku perlahan menatap sendu mataku yang sudah sembab dan memerah. Tangannya menyapu lembut pipiku, ia tersenyum teduh.

"Kau masih adik kecilku yang cengeng." Lanjutnya.

Aku langsung memeluk tubuhnya yang berdiri, menyenbunyikan kepalaku di dadanya yang tertutup oleh kemeja hitam. Terisak dan terus terisak. Tangannya mengelus lembut kepalaku, lelaki ini selalu tau cara menenangkanku. Sama seperti ayah. Tangisku mereda, pelukan kami terlepas. Sekali lagi ia mengelus pelan kepalaku dan mencium keningku.

"Jangan menangis lagi."

Aku mengangguk patuh, walau sebenarnya masih ada banyak air mata yang memberontak ingin keluar.

"Aku harus pergi, badanku lengket."

Ia melangkah mendekati pintu kamar mandi.

"Lena." Panggilnya.

Aku menatap pintu kamar mandi yang memunculkan wajah tampannya.

"Kita akan berkeliling paris besok. Emily akan ikut bersama kita."

Baru saja aku membuka mulut ingin memberontak ia kembali bersuara "Ludwig Lee tak ingin mendengar bantahan." Tegasnya dan memasuki kamar mandi.

Aku menghela nafas pelan, melangkah ke balkon apartemen Ludwig dengan kemeja hitam yang kebesaran. Aku merutuki diriku yang bodoh dalam hati, bisa-bisanya aku hanya membawa gaun bangsawan milik keluarga Bieber. Untung saja, Ludwig masih menyimpan barang-barangku dilemarinya. Aku memang pernah tinggal di Paris dulu sebelum ibu meninggal dan perjodohan ini terjadi. Air mata kembali menetes, perjodohan ini gumamku pelan.

-------

"Kau sudah sampai ?" Suara itu terdengar di ujung telepon, aku bergumam mengiyakan.

Membanting tubuhku ke ranjang apartemen dengan kasar. Menekan tombol pengeras suara dilayar handpone dan membiarkan suara itu menggema ke seluruh ruangan.

"Kau tinggal dimana ?"

"Di apartemen."

Aku bangkit, melangkah pelan ke arah balkon. Menikmati menara Eiffel yang indah, mataku memejam menikmati udara dingin menghebus kulitku.

Lena LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang