Epilog

8.5K 401 20
                                    

Sang kelabu memenuhi langit. Menciptakan kegelapan diiringi oleh rintihan airmata sang langit. Hujan dimusim semi. Lena selalu suka itu. Tapi sekarang ia tak lagi suka hujan. Hujan dimusim apapun. Jika dulu hujan adalah pembawa ketenangan baginya maka sekarang hujan adalah sumber malapetaka. Ia tak tahu persis mengapa, hanya saja jika hujan turun kenangan akan kematian seseorang itu akan kembali bangkit dimemorinya, memberikan ia rasa sakit yang lebih besar pada luka yang sama.

Sudah dua bulan wanita itu begini. Duduk termenung pada sebuah kursi goyang didepan jendela kamarnya. Wajahnya kusam dan mengerikan ditambah dengan untaian rambutnya yang sangat berantakan. Mungkin orang lain akan berpikir ia sudah mati. Dan itu benar. Wanita itu memang sudah mati. Mati rasa. Entah apa yang dapat lakukan sekarang, ia hanya ingin memaki. Memaki siapapun didalam otaknya. Siapapun tak terkecuali Tuhan.

"Kau harus meminum darah, Lena." Lena tak menyahut, hanya membeku pada posisinya. Rowena mendesah pelan lalu menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan wanita itu.

Sesaat membiarkan keheningan menyelimuti, sebelum akhirnya Rowena kembali membuka mulut, "Aku tahu. Rasa itu."

Perlahan kepala Lena bergerak, menatap seseorang disampingnya. Wanita itu menatap Rowena tajam, tegas dan mengintimidasi. Alih-alih ketakutan, Rowena malah merasa semakin bersimpati pada wanita ini. Manik matanya yang coklat keemasan memudar, hanya menampilkan sesirat warna tanpa makna. Jika mata adalah lautan, maka mata wanita inilah lautan terdangkal yang pernah ada.

"Kau tak tahu." Suaranya serak dan kering. Ia belum meminum darah selama dua bulan dan itu adalah pertanda buruk. Vampire dan darah adalah satu kesatuan. Tak akan ada artinya vampire tanpa darah dan begitupula sebaliknya.

"Aku tahu."

Lena menggeleng takzim, "Tidak Rowena. Kau tak tahu."

"Aku tahu."

"Rowena," panggil Lena, tajam "Kau tak tahu dan tidak akan pernah tahu."

Wanita bermata biru tampak geram, ia bangkit dan berdiri tegap didepan Lena yang nampak sama sekali tidak peduli. Pandangannya hanya lurus kedepan, menerawang sangat jauh. Airmata perlahan mulai kembali merembes dipipinya yang putih pucat. Rowena terkesiap, niatnya untuk marah menguaplah sudah. Sekarang seorang wanita yang sudah ia anggap adiknya sendiri menangis didepannya. Didepannya. Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung menarik Lena kedalam pelukannya. Membiarkan segala kesedihan wanita itu menghilang walau sebenarnya Rowena tahu kesedihan ini takkan pernah hilang dari wanita itu.

"Aku tahu, Lena. Semuanya. Rasa sakitmu, rasa cintamu dan rasa kehilanganmu. Aku tahu. Kita terikat."

Suara isakan semakin terdengar jelas dari dalam pelukannya sebagai jawaban atas pernyataan yang dilontarkan wanita itu. Rowena melirik seseorang yang berada diambang pintu. Wanita parubaya berkulit hitam dengan batu rubik merah besar sebagai liontin kalung yang menggantung dilehernya. Wanita itu menatap Rowena. Terdengar desahan pelan dari wanita bermata biru itu sebelum akhirnya mengangguk.

Bibir wanita itu berkulit hitam itu bergoyang seperti membaca mantra. Semakin cepat bibirnya semakin pilu jua rintihan kesakitan Lena. Rowena mengiggit bibir bagian dalam, banyak sekali pikiran yang berkecamuk diotaknya. Apakah hal ini benar ? apakah keputusannya dan Christian untuk melakukan hal ini benar ?

"Andencita!" Satu mantra terakhir terucap. Semua jendela dan lampu pecah berkeping-keping. Saat itu juga Lena terjatuh ke lantai menindih puing-puing kaca jendela didepannya. Rowena menatap Bennet---wanita berkulit hitam itu. Bennet mengangguk dan tersenyum samar.

"Kita berhasil, nona Rowena. Takdir Lena yang baru dimulai."

~~~~~~~~

Tarararara! ini part terakhir setidaknya kegantungannya sedikit berkurang sekarang. Takdir Lena yang baru dimulai~~~~

Lena Lee verse kedua dengan judul Lena Lee : When You Comeback akan segera terbit. Tunggu yaks! :*

Lena LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang