Empat

9.8K 679 6
                                    

Kopiku hampir mendingin dan belum tersentuh sama sekali olehku. Sebaliknya, sudah ada segelas kopi kosong disampingnya dan pemiliknya berniat memesan gelas kedua. Aku cuma sesekali mencomot waffle yang kupesan, dan milik Raskha sudah habis tak berbekas. Dia punya selera makan yang besar rupanya.

"Kupikir tadinya kamu bakal datang tanpa atribut kamu ini," dia sengaja menaikkan alisnya sambil menunjuk kacamataku, memberikan tampang meremehkan padaku. Aku ngga akan terpengaruh olehnya.

"Jangan ngarepin apapun yang cuma bakal ngecewain kamu." tangan Raska beralih ke piringku bersama garpunya.

"Kenapa ngga ikut Rion hari ini? Biasanya kan kamu selalu ada dimanapun dia berada,"kali ini kuputuskan untuk menyeruput kopiku. Ternyata Raskha memesankan aku kopi rempah, enak juga. Perutku terasa hangat.

"Kalo aku ikut dia, kita ngga bakal ada disini sekarang." Raskha memutar matanya sambil tersenyum, memperlihatkan gigi kecilnya yang rata.

"Apa sih yang kurang dari keluarga kamu sampai kamu mutusin pergi merantau sejauh ini dan mutusin jadi seorang asisten?"

"Seorang asisten bukan pilihan yang buruk. Sama seperti wartawan, walau ada beberapa yang menyebalkan." kali ini giliran aku yang menaikkan alisku padanya.

"Sudah lama kamu kerja sama Rion?"

"Kupikir kamu sudah cukup tau mengenai pekerjaanku."

"Itu bukan jawaban."

"Kita kemari bukan untuk wawancara. Dan kamu ngga sedang bekerja kan?" suara tawa sumbang Raskha memecah keheningan kafe ini. Dia menyerah dan aku berhasil. Diluar hujan dan cuma sedikit pengunjungnya malam ini, jadi suara kami terdengar lebih nyaring. Aku ikut tertawa melihat wajah lucunya ketika menyerah dengan jawabanku.

"Aku udah tau dari sejak awal ketemu sama kamu, ada sesuatu yang menyenangkan di diri kamu yang membuat orang nyaman sama kamu." aku ngga akan tergoda kalo dia nyoba buat ngegombal sekarang.

"Semua orang emang berebut untuk dekat denganku." aku jujur. Banyak yang berusaha dekat denganku, terlebih cewek. Tentu saja karena aku dekat dengan Rion yang memang jadi incaran mereka sebenarnya.

"Bukan karena aku menarik, tapi karena orang yang berdiri disebelahku." tambahku sesudahnya.

"Kamu terlalu jujur Mimi." Raskha masih tertawa. Aku baru merasa, bahwa pria ini sangat mudah tertawa. Di wajahnya hampir tak pernah lekat dari senyuman.

"Aku cuma bicara mengenai kenyataan, Raskha." aku melihat ponselku berkedip dan nama Rion disana.

--Aku sedang bersama teman. Ada apa?-- kukirimkan pesan singkat secepatnya sesudah mereject panggilan darinya.

-- Aku menginap dirumah Rindy malam ini. Tolong siapkan perlengkapanku untuk syuting besok. --

Kuhela nafasku waktu melihat pesan balasan darinya. Ini artinya, sepulang dari tempat ini, aku masih harus mampir ke apartemen Rion. Aku cuma menyunggingkan senyum miring pada Raska yang memandangku dengan wajah bertanya miliknya. Dia pasti penasaran kenapa aku mereject panggilan untukku.

--Ya.-- hanya itu balasan yang kuketik selanjutnya.

--Jangan pulang terlalu malam. Kamu baru sembuh.-- dia perhatian. Dan aku ngga pantas menerimanya, cuma bakal membuat perasaanku semakin bertumbuh besar padanya.

"Siapa sih?" tanya Raskha akhirnya. Kusimpan ponselku tanpa perlu membalas pesan Rion untuk selanjutnya.

"Orang." jawabku sekenanya, meraih gelas kopi dan kembali meminumnya hingga habis.

Topeng EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang