1. Feeling

19K 496 4
                                    

"Apa kau gila?!" Teriak seorang gadis dengan rambut merah menyala itu. Sedangkan gadis di depannya itu malah tersenyum-senyum bahagia. Rambut panjangnya di ikat menjadi dua bagian. Dia sangat terlihat seperti gadis yang baru masuk sekolah dasar, di tambah lagi tubuhnya yang tidak terlalu tinggi itu.

"Yash! Sadarlah, apa kau pikir kehidupanmu ini seperti di dalam drama-drama korea yang kau tonton?!" teriak gadis berambut merah itu sangat frustasi.

"Apa salahnya sih? Aku hanya sedikit menggodanya. Aku pernah mendengar jika kau ingin menangkap srigala kau harus ke dalam sarangnya. Kau mengerti kan?" Kata gadis di depannya menjawab masih dengan senyuman lebar.

"Lagi pula, sekarang aku sudah dewasa. Dia akan memandangku sebagai wanita kan? Dia tak mungkin lagi mengangapku adik kecil ingusan-nya." habis sudah. Gadis berambut merah itu terpaku, dia hanya bingung hendak mengatakan apa lagi pada gadis luar biasa di depannya ini.

"Em, begini maksudku, Charisa. Dia sudah melihatmu bagaimana pun keadaanmu. Kau berteman dengannya hampir seumur hidupmu kan? Tapi nyatanya dia sama sekali tidak tertarik padamu, hanya kau yang disini begitu bersemangat. Dan oh, dewasa? Kau baru 17 tahun, jangan macam-macam!"

"Jangan berharap terlalu banyak, dia tidak akan tertarik pada gadis ajaib sepertimu." lanjutnya lagi dengan wajah yang begitu menyakinkan. Wajah ceria gadis bernama Charisa itu berubah sudah.

"Kau memang berbakat mematahkan semangat orang." ketus Charisa kesal, tapi dia langsung tersenyum lebar.

"Tapi, maaf. Kali ini aku tidak akan terpengaruh padamu, Maddi." gadis berambut merah yang di panggil Maddi oleh Charisa itu langsung mejatuhkan kepalanya pada meja di depannya.

"Kau seratus persen gila."

"Ah, sebenarnya selama ini dia sangat tidak menyukaiku. Karena aku selalu mengangu kesenangannya, katanya. Yah, selama hidupku dia belum pernah tersenyum tulus untukku dan lagi, dia tidak pernah mengangapku ada." Cerita Charisa begitu santai. Mata Maddi membulat sempurna.

"Kau bahkan sadar dia tidak menginginkanmu dalam hidupnya, lalu apa yang kau harapkan?" Tanya Maddi cepat, dia mengangkat kepalanya dan menatap Charisa yang terdiam beberapa saat.

"Aku menyukainya, aku benar-benar menyukainya. Bahkan saat dia memaki diriku, aku merasa seperti sedang di puji olehnya."

"Stop, Charisa. Kau butuh kerumah sakit. Dan berhenti tersenyum bodoh saat berbicara begitu padaku, kau membuatku merinding!" Teriak Maddi mengundang tatapan bigung dari banyaknya pengunjung di Cafe ini. Yah, mungkin untuk pelayan di sana mereka hanya bisa tersenyum memaklumi ketika mendengar keduanya membuat keributan karena Cafe ini adalah langganan mereka, tetapi para pengunjung terlihat begitu tergangu.

Namun, Maddi dan Charisa bukanlah orang yang memperdulikan hal seperti itu. Mereka sahabat yang memiliki karakter sama.
Sama-sama suka menganggu orang lain. Walaupun Maddi masih sedikit waras. Yah, setidaknya dia tidak seakut Charisa.

******

Salju kembali turun sore ini, semua para pejalan kaki berlari mencari tempat untuk menghangatkan diri bahkan pengendra mobil mau pun motor terburu-buru. Hanya satu sosok yang berjalan dengan pelan di tengah salju itu. Gadis itu tersenyum lebar dan sesekali bersin. Ini sangat dingin, tapi kebahagian yang membuat dirinya merasa hangat.

Gadis itu berputat-putar sambil meloncat-loncat sesekali ia hampir terjatuh namun itu tidak membuatnya jera. Dari kejauhan sepasang mata hazel mengawasinya. Matanya melebar ketidak mendapati darah yang mengalir dari hidung gadis itu.

"Hei! Otak udang!" Jeritnya berlari mendekat. Sementara gadis itu menunjukan senyuman terbaiknya, memulai aksi mengodanya.

"Apa sih yang membuatmu begitu senang? Bermain salju atau berputar-putar seperti orang bodoh?" laki-laki itu sudah kesal sedari tadi, melihat tingkah gadis di depannya itu.

"Tadi aku memikirkanmu, jadi aku tak bisa berhenti tersenyum."

"Berhenti bermain-main denganku. Kau tahu hanya denganmu aku bisa banyak berbicara dan aku benci itu." Tegasnya menggertakkan giginya. Tanganya mengepal menahan rasa dingin.

"Tapi aku suka."

"Otak udang dengarkan aku, aku sudah berkali-kali mengatakan padamu. Jangan berkata kau menyukai orang dengan semudah itu." mencoba membuang nafasnya, laki-laki itu mencoba menatap gadis di depannya itu. Dia kembali melihat darah yang menetes di tumpukan salju putih itu, tapi gadis di depannya belum sadar rupanya.

"Tapi aku benar-benar menyukaimu, Justin!" Justin terdiam, karena yang di katakan gadis di depannya ini adalah kebenaran. Gadis di depannya ini benar-benar menyukainya.

"Tapi aku.. Benar-benar tidak menyukaimu." Perlahan, Justin mengatakannya pada Charisa.

"Tak apa. Aku akan menunggu sampai hari di mana kau mengatakan Charisa, aku benar-benar menyukaimum. Ah, bahkan mencintaimu." ungkap gadis itu percaya diri.

"Kau masih sama. Penuh percaya diri."

"Lalu apa yang kau harapkan? Perubahan? Bukan hanya karena umur seseorang bertambah mereka juga akan berubah, Justin." mulai lagi, Charisa akan mengeluarkan kata-kata manisnya.

"Perasaanku masih sama. Hari ini, besok, lusa. Tahun lalu, dan tahun-tahun yang akan datang. Kau harus ingat itu." Justin merinding di buatnya.

"Terserah padamu lah, tapi satu hal yang sangat aku bingungkan darimu." Charisa merogoh topi kupluk di kantung mantelnya lantas berjinjit memakaikannya di kepala Justin. Laki-laki itu sedikit terkejut namun tetap saja sikap baik-baik saja nya itu terlihat begitu sempurna di mata Charisa.

"Apa?" Dengan wajah sumringah Charisa bertanya. Justin mendegus.

"Kau dapat mengurusku dengan baik, tapi mengapa mengurus dirimu sendiri saja kau tidak bisa hah?!" dengan kasar Justin memberikan sapu tangannya untuk menyeka darah yang mengalir dari hidung Charisa.

"Aku mimisan?" dengan polosnya Charisa bertanya, namun setelah melihat darahnya sendiri ia baru percaya dan tersenyum malu-malu. Charisa memukul dada Justin.

"Kau begitu manis." Justin menatapnya sinis. Lantas justin berbalik, tetapi baru satu langkah Charisa menarik tangan Justin.

"Apa kau akan masuk?" Rumah Justin tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Lantas aku harus diam di sini hingga mati membeku denganmu?" Menggunakan nada sinis bukan lagi hal yang tidak biasa Justin gunakan untuk berbicara dengan Charisa.

"Kita pasti akan bahagia jika itu terjadi." Mata itu berbinar, Charisa begitu bahagia. Beda lagi halnya dengan Justin, wajahnya terus menekuk sepanjang pembicaraan mereka.

Justin melepaskan tangan Charisa dan kembali berjalan.

"Bolehkah aku juga ikut kerumahmu?"

Justin berbalik, satu kali lagi.

"Ish. Sejak kapan kau izin saat ingin masuk kerumahku? Jangan berpura-pura, kau bahkan tahu letak setiap ruangan di rumahku tanpa perlu melihatnya." Charisa tertawa mendengarnya.

"Ugh. Justin, kau benar-benar tipeku." Guman Charisa penuh semangat.

Justin berdecak.
"Dasar sinting. "





Maaf banyak typo, lagi buru-buru. Maaf juga berantakan, kalo suka kasih Vote+komennya ya. Makasih!❤

Childish Vs. Arrogant [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang