Patah hati adalah hal yang paling di takuti orang yang sedang jatuh cinta. Namun, bagi Charisa patah hati adalah hal yang biasa. Dia sudah sering mengalami ini. Terlalu sering sampai luka di hatinya berkali-kali mengering. Namun berkali-kali kembali terluka. Jika bisa diibaratkan penyakit, luka di hati Charisa telah kronis.
Namun, siapa yang perduli? Charisa selalu saja menyalahkan dirinya karena merasa mudah di bodohi. Beginikah rasanya jatuh cinta satu pihak ? Sesakit ini ?
"Jelaskan pada Mom sekarang. Kenapa kau pulang selarut itu." Ibunya protes, anak gadis satu-satu mereka pulang pada pukul setengah sebelas kemarin malam. Charisa yang tengah melamun tersentak sambil menunduk.
"Maafkan aku Mom, sesuatu telah terjadi tapi aku belum bisa mengatakannya."
"Charisa." Tegur Ayahnya, Charisa berdiri sambil tersenyum.
"Terimakasih untuk sarapannya. Aku berangkat sekolah, sampai jumpa, Mom, Dad." Charisa berlalu mengundang tanya bagi kedua orang tuanya.
******
"Apalagi sekarang?" Maddi menatap Charisa penuh kecurigaan. Ya, Charisa masih bungkam dan belum sempat bercerita atau bahkan tak ingin bercerita karena dengan hanya mengingatnya saja membuat luka yang mati-matian ia kubur kembali terbuka.
"Baiklah, jika memang kau belum mau bercerita. Aku akan memakluminya." Maddi kembali angkat bicara melihat Charisa yang masih bungkam. Pandangannya lurus penuh kekosongan. Gadis itu rapuh, ia perlu direngkuh. Namun tak ada yang menyadarinya.
Suasana kelas yang awalnya hening menjadi riuh dengan kedatangan Adam dan juga kawan-kawannya.
"Hei, Charisa. Apa kau putus dengan Justin ?"
"Iya, apa kau putus?"
Charisa seakkan menulikkan dirinya sendiri. Dia tak ingin mendengar, apalagi menjawab pertanyaan itu. Memang apa yang harus dia jawab ?
"Tidak, aku tidak putus karena aku tidak pernah berkencan dengan Justin." dia tidak mungkin melukai harga dirinya dengan menjawab seperti itu. Jadi, dia memilih diam.
"Wah. Jadi benar kalian putus karena Justin selingkuh dengan anak baru itu?"
"Anak baru itu memang cantik sih, jadi jelas saja Charisa di selingkuhi oleh Justin."
Suara-suara teman-temannya membuat rasa pening di kepala Charisa. Maddi langsung bangkit menatap Adam dan teman-temannya.
"Apa maksudmu?! Apa kau tidak tahu, Charisa-lah yang meninggalkan Justin. Charisa yang terlalu bosan dengan sikap Justin. Apa kalian tidak tahu? Berhentilah mengosip, kalian itu laki-laki!" teriak Maddi meledak sampai seisi kelas menertawakannya. Charisa mengangkat wajahnya menunggu apa lagi yang akan di katakan para penggosip itu.
"Bagaimana aku tak berpikir bahwa Justin selingkuh di saat aku bahkan yang lainnya melihat anak baru itu diantar oleh Justin tadi pagi. Bahkan Justin mengusap rambutnya dan mencubit pipinya. Apakah aku salah mengatakannya? Aku tidak sedang bergosip, ini adalah kenyataan. Fakta yang sesungguhnya." Kata Adam lagi. Maddi langsung mendekati Adam lalu mencengkram kerah seragam Adam membuat laki-laki itu terkejut bukan main.
"Bisakah kau tidak mengatakan sekeras itu ? Biasanya kau sangat pintar mengarang cerita, setidaknya saat melihat salah satu teman kelasmu yang di perlakukan tidak baik bukankah seharusnya kau menghiburnya ?!" jerit Maddi didepan wajah Adam dengan nafas terengah karena dia mengatakan itu dengan sekali helaan nafas.
"Cukup Maddi, cukup." semua langsung hening menatap kearah Charisa. Charisa bangkit lantas menatap Maddi dalam.
"Jangan mengatakan itu lagi, itu membuatku terdengar menyedihkan." Maddi melepaskan cengkraman pada kerah Adam lantas memandang balik Charisa.
"Aku memang tidak baik-baik saja tapi kau tidak perlu sampai menghiburku dengan kebohongan. Lukaku akan sembuh, itu pasti. Berikan aku waktu, hanya sampai mengering saja. Aku hanya butuh waktu selama itu." semua teman-teman Charisa yang mendengar itu merasa sangat iba.
"Kalian perlu tahu, aku dan Justin tak pernah berkencan. Statusku tidak pernah, aku hanya salah satu dari banyak gadis yang mengejarnya namun bedanya aku lebih nekat dari pada gadis-gadis itu. Aku mengusahakan segala cara agar bisa dekat dengan Justin tapi ternyata semuanya sia-sia.
"Dia tak pernah mengangapku. Aku hanya angin lalu baginya. Aku tetaplah bukan apa-apa untuknya. Sering kali aku ingin menyerah tapi rasa sukaku padanya mengalahkan segalanya. Ini terdengar berlebihan tapi inilah hatiku, aku orang yang ekspresif saat menyukai seseorang. Aku akan memberikan apapun. Tapi ketika mereka melukainya, tak ada lagi ruang. Cukup sampai disini.
"Aku tidak mengatakan bahwa aku berhenti menyukai Justin, aku hanya sedang berhenti menunjukkan keperdulianku agar rasa suka ini menghilang seiring berjalannya waktu. Jadi, aku mohon. Berhenti membahas Justin itu hanya membuatku ingin berlari dan kembali bersamanya lagi. Kumohon, aku-" tangan Charisa ditarik oleh seseorang lantas berjalan keluar kelas. Charisa merasakan matanya kembali memanas tapi dia tak berani mengeluarkan air matanya.
Tidak lagi.
"Apakah setelah menangisinya dapat membuatmu tenang?" Charisa diam, menatap laki-laki tampan di depannya. Dave.
"Jika setelah kau menangis kau dapat melupakannya maka lakukanlah. Menangislah, aku akan mengingat tangis menyedihkanmu ini. Akan kurekam didalam otakku, maka bila dia kembali tak kuizinkan dia menyentuhmu seujung jari-pun." Charisa tidak yakin, sejak kapan dia dan Dave sedekat ini. Dia hanya merasa harus begini. Dia hanya merasa perkataan Dave sungguhlah menyentuh hatinya. Dia sedikit bahagia, setidaknya masih ada orang yang mengkhawatirkannya selain Maddi.
Ah, Maddi. Charisa merasa bersalah karena belum bercerita. Tapi dia berjanji akan menceritakannya setelah ini.
Dave tiba-tiba mengengam tangan Charisa membuat gadis itu terkejut.
"Mulai sekarang kau bisa mengengam tanganku seperti ini." Dave tersenyum lebar mengundang senyuman tipis Charisa. Sebelumnya, senyum tidak sesulit ini tapi kenapa sekarang malah sangat sulit? Untuk tersenyum saja Charisa sangat ragu.
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Apapun yang terjadi, sekali-pun kau kembali bersama Justin aku akan tetap berada disisimu." Charisa hanya dapat menganguk, mereka meneruskan jalan mereka di lorong koridor yang mulai sepi dengan bergandengan tangan.
"Oh, jadi seperti ini? Kau menggumbar cintamu padaku lalu kau jalan dengan laki-laki lain? Wah, kau ini sungguh gadis murahan ya." Tanpa berbalik pun Charisa tahu bahwa Justin lah yang berkomentar sedemikian kasarnya itu.
"Bagaimana cara kau menggodanya kali ini?merenggek dengan tingkah kekanakanmu itu?"
Dave geram, tubuhnya berbalik tapi tangannya masih mengengam tangan Charisa. Justin menatap keduanya penuh tatapan membunuh.
"Apa yang membuatmu sedemikian kesalnya, Bieber?" suara berat Dave menantangnya. Charisa menatap Justin muak.
"Aku kesal karena gadis di sampingmu itu terlalu murahan!" kilahnya dengan perasaan berapi-api. Dave terkekeh, tangannya melepaskan gengamannya pada tangan Charisa namun langsung merangkul gadis itu.
"Kau sudah tidak ada urusan dengan gadis ini." tekan Dave dengan mata memerah menahan amarah. Justin memutar bola matanya lantas mendekati keduanya.
"Aku masih ada urusan dengannya!"
"Apa?!" Dave makin kesal, Charisa terlihat malas menyahuti Justin alhasil hanya memandang keduanya dalam kebisuan.
"Dia masih menyukaiku. Ah, tidak. Dia hanya bisa menyukaiku." balas Justin penuh tekanan yang membuat Charisa ingin menampar wajah Justin sekarang juga. Justin menarik tangan Charisa hingga rangkulan Dave terlepas begitu saja.
Baru satu langkah, Charisa sudah menepis tangan Justin.
"Aku sudah selesai, Justin." Kata Charisa sambil berbalik dan berjalan meninggalkannya. Justin memandangi tangannya yang baru saja di tepis oleh Charisa. Dave terkekeh mengejek lantas mengikuti langkah Charisa.
Justin memandang punggung Charisa dan Dave yang sudah menjauh.
Beginikah rasanya di tolak? Sesakit ini? Jika tahu sejak awal aku tak akan pernah menolakmu, sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Childish Vs. Arrogant [END]
Romantizm"Aku menemukan sosok pria dingin yang aku idam-idamkan! bahkan hinaannya terdengar seperti pujian untukku, apakah aku gila mengatakan hal ini?" -Charisa "Gadis itu benar-benar gila. bagaimana mungkin dia berada di dekatku 24 jam menjagaku seperti se...