Bagian 5

71.8K 3.4K 208
                                    

"Ih, nyebelin banget sih. Sebel gue sama si om mesum!" Aku mengebrak meja di hadapanku.

"Lo itu kenapa sih? Dari tadi marah-marah, tapi gak cerita-cerita. Pusing gue dengernya!" tetus Firly menatapku jengah.

Setelah kepergian Bimo tadi pagi aku langsung menghubungi Firly. Ya, biasa untuk melampiaskan kemarahku. Hanya sahabatku yang satu ini yang diterima di apain aja sama aku.

Sudah dua jam aku berada di cafe tempat kami sering nongkrong dulu. Dan selama dua jam juga aku tidak menceritakan apa yang terjadi padaku dan Bimo. Aku hanya menggerutu tidak jelas dan membanting benda yang aku pegang.

"Lo kepo banget sih mau tau urusan rumah tangga orang!" jawabku ketus.

"Hah? Aneh banget sih lo. Bukannya tadi lo nelpon gue. Lo mau cerita, sekarang lo bilang gue kepo?" ujar Firly sewot.

"Tahu ah, gue mau pesen makan dulu," jawabku menggeser kursi ke belalang lalu bangkit.

"Tunggu, biar gue aja yang pesen. Lo mau apa?" cegah Firly menahan tanganku.

"Oh yaudah, gue mau nasi aja sama ayam." Aku kembali duduk.

"Ayam apa?"

"Ayam apa aja, yang penting ayam. Ayam idup juga gue makan," jawabku ngasal.

Firly menatapku horor.

"Serem gue lama-lama temenan sama lo!" ucapnya ngeri, sebelum ia pergi.

Aku tersenyum melihat kepergian Firly. Mataku melihat pada ponsel yang tergeletak di meja. Kuraih ponsel itu dan melihatnya. Tapi tidak ada notif masuk dari Bimo. Kulihat jam sudah menunjukan jam makan siang. Kemana sih dia? Bahkan menghubungiku untuk minta maaf saja tidak. Sesalah itukah aku sama dia?

"Kakak!" seru seseorang yang aku kenali suaranya.

Aku menoleh ke arah Firly yang sedang memesan makanan. Dia tampak sedang mengobrol dengan seseorang yang aku tidak tahu siapa. Karena orang itu berdiri membelakangiku.

Tiba-tiba orang itu menoleh ke arahku, aku tersenyum kaku ke arah pria yang ternyata aku juga mengenalnya.

Sudah lama sekali aku tidak pernah melihatnya lagi. Ya, meksipun aku tidak peduli kalau tidak melihatnya lagi. Tapi, saat kelulusan dulu, aku tidak pernah tahu lagi kabarnya. Dia menghilang begitu saja.

"Hai, Anna?" sapa seseorang bersamaan dengan pundakku yang ditepuk.

Aku menoleh dan mendapati pria yang tadi bersama Firly kini ada di sampingku.

"Eh, hai Kak Divan?" jawabku tersenyum canggung.

Ya, pria yang tadi berbicara dengan Firly itu, Divan. Kakak kelasku dulu di SMA. Aku menatap Divan seksama. Dulu dia memang tampan. Dan sekarang dia lebih... tampan. Apalagi sekarang dia terlihat lebih dewasa dan berwibawa. Pesona ya yang dulu tidak berpengaruh padaku kini sepertinya akan berpengaruh. Aduh Anna! Kenapa jadi ngelantur kaya gini sih ngomongnya. Inget suami sama anak lo! Aku menggeleng menghilangkan pemikiran tentang Divan.

"Ayo Kak, gabung aja sama kita. Soalnya gak ada kursi kosong tuh!" Divan melihat kesekitar lalu tersenyum.

Oh may gat, senyumnyaaaaa... Inget suami Anna! Inget suami!

"Tidak apa-apa aku gabung sama kalian?" Divan menatapku meminta jawaban yang langsung aku jawab dengan anggukan.

Pandanganku mengikuti Divan yang duduk di sebrangku dan Firly menyusul duduk di sampingku.

"Kakak, apasih rahasiannya tetep ganteng?" tanya Firly membuat Divan tersenyum malu. Lagian si Firly aneh banget pertanyaannya.

"Aw! Sakit bego!" pekik Firly, protes saat aku menyenggol lengannya keras.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang