Besok paginya aku terbangun, mataku menyipit karena terkena sinar mentari yang berhasil masuk ke dalam kamar dan mengenai mataku.
Aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Lalu bangun dan mendudukan diri. Saat aku menyapukan pandanganku, aku terkesiap karena tidak mengenali kamar ini. Ini tentu saja bukan kamar di rumahku.
Tapi, setelah itu aku sadar kembali, aku sudah menikah bukan? Dan aku tidak tinggal bersama kedua orangtuaku lagi. Meskipun sebenarnya sampe sekarang aku masih tidak percaya, aku merasa aku belum menikah.
Semuanya serba mendadak. Aku bangun sudah berada di rumah sakit, dan statusku berubah 180 derajat dari lajang menjadi menikah. Dan aku harus beradaptasi dengan status baruku ini. Kita lihat saja, apa aku akan kuat lama-lama berhubungan dengan si om-om itu. Baik sih kelihatannya, tapi tetap saja aku selalu merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Bawaannya kalau deket-deket itu aku mau menerjangnya dan menghajarnya. Aneh bukan? Padahal dia suamiku sendiri.
Aku menurunkan kakiku dari tempat tidur dan berdiri di samping tempat tidur. Hari ini rencananya aku akan main ke apartnya Firly. Karena kurasa akan membosankan berada seharian di dalam rumah ini.
Selesai bersiap-siap aku keluar dari kamar. Sambil menutup pintu di belakangku. Aku melihat-lihat pada setiap ruangan di rumah ini. Mencari dapur berada dimana, karena perutku sudah keroncongan meminta di isi.
Hingga akhirnya aku menemukan ruangan dengan meja makan di dalam nya. Samar sudut bibirku terangkat, sebelum aku melangkah ke arah ruang makan.
Saat aku ingin melangkah ke arah ruang makan, tidak sengaja sudut mataku menangkap sesuatu yang mengguggah rasa penasaranku.
Aku mengalihkan pandanganku pada ruangan di sebelah kamar yang pintunya terbuka setengah. Aku menyipitkan mataku demi melihat lebih jelas apa yang kulihat.
Naluriku membawaku untuk masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang bernuansa sangat maskulin dengan warna coklat, putih dan hitam. Aku menyakini ini adalah ruangan kerja si Om, karena di ruangan ini ada meja yang sangat besar beserta kursi kebesarannya. Ada juga lemari tinggi dan besar berisi buku-buku. Ada seperangkat sofa dan satu mini bar di sudut belakang pintu.
Setelah puas melihat-lihat seisi ruangan ini. Pandanganku terhenti pada sesuatu yang membawaku masuk kedalam ruangan ini.
Seseorang yang berbaring meringkuk di sofa panjang tanpa selimut. Oh ya ampun, apakah tindakanku semalam keterlaluan? Melihat dia tertidur disini dan dalam keadaan seperti ini, membuatku merasa bersalah.
"Pasti badannya pegal-pegal setelah bangun nanti," gumamku sangat pelan.
Pandanganku beralih pada bantal kursi yang tergeletak di lantai. Lalu beralih kembali pada si Om yang tertidur.
Aku meraih bantal itu, lalu mengangkat kepala si Om pelan-pelan dan menyimpan bantal itu di bawah kepala si Om sebelum aku kembali keluar dan menutup pintu ruangan itu.
Sampai di ruang makan. Aku mengedarkan pandanganku mencari seseorang yang bisa kutanyai. Karena tidak ada siapapun, aku melanjutkan langkahku ke dapur mencari makanan yang bisa aku makan. Tepat saat aku berdiri satu langkah di lantai dapur. Aku merasa hatiku sakit. Rasanya seperti sedang patah hati. Kepalaku juga tiba-tiba saja sakit dan pusing. Bayangan banyak orang berkelebat saat aku memejamkan mataku. Orang-orang itu seperti sedang menonton sesuatu. Tapi, tidak tahu sedang menonton apa. Karena tiba-tiba saja tubuhku limbung.
"Non!" pekik seseorang menangkap tubuhku. Aku mengerjap dan menatap wanita paruh baya yang saat itu menyambutku kini sedang menahan tubuhku. "Non Anna tidak papa?"
Aku menegakkan tubuhku dan menggeleng.
"Yasudah ayo duduk dulu. Mau dibuatin sarapan apa, biar Mbak siapin."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Last Happiness (TELAH TERBIT)
RomanceSequel Of The Story 'My Possessive Hero' Masalah itu datang silih berganti dalam kehidupan rumah tangga Anna dan Bimo. Apakah Anna akan berhasil menerobos dinding kekuatan cinta itu? Jika ternyata ia yang akan berjuang sendiri disini? Tanpa Bimo yan...